Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP
Problematika RKUHP:

Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP

Alasan pemerintah pasal penghinaan presiden/pemerintah diatur KUHP berbagai negara. Di sisi lain, pembentuk UU ketika merumuskan norma dalam RKUHP seharusnya mengacu Putusan MK sesuai amanat Pasal 10 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang pasti, apabila pasal-pasal penghinaan presiden dan pemerintah ini disahkan berpotensi lagi digugat ke MK.

Aida Mardatillah/RFQ/NOV
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, kata dia, dalam beberapa hal, pembentuk UU sudah mengikuti putusan MK dengan tidak mengadopsi pasal yang sudah dihapus atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Misalnya, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dihapus melalui putusan MK No.1/PUU-XI/2013 dan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang awalnya delik formil diubah menjadi delik materil oleh MK. “Pasal itu di RKUHP sudah tidak ada lagi, pemerintah mengikuti sesuai putusan MK,” tambahnya.  

 

Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut

 

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso menerangkan UUD Tahun 1945 telah menempatkan MK sebagai penafsir tunggal atau penjaga konstitusi. Jadi, ketika sebuah norma sudah ditafsirkan MK melalui putusannya, pembuat UU seharusnya mengikuti tafsir MK. “Beberapa pasal dalam KUHP sudah ditafsirkan MK, mestinya pembuat UU tidak boleh menafsirkan lain selain yang sudah ditafsirkan MK,” kata Fajar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/12).

 

Dengan begitu, kata dia, apabila norma sudah ditafsirkan MK, lalu diakomodir lagi dengan membuat norma yang sama berpotensi dapat diuji kembali di MK. “Tentu akan berulang untuk diuji kembali. Pemohon nantinya akan meminta ketentuan ini tidak sesuai tafsir MK seperti putusan sebelumnya,” kata dia.

 

Menurut Fajar, apabila pasal-pasal penghinaan presiden/kepala negara itu disahkan menjadi UU akan menimbulkan problem konstitusionalitas. Tindakan pembuat UU ini bisa dianggap membangkang putusan MK. Hanya saja, pembangkangan terhadap putusan MK tidak ada sanksinya secara eksplisit. “Ada putusan MK menafsirkan begini, lalu pembentuk UU menafsirkan lain, dituangkan dalam UU, dan nanti akan diuji kembali. Seterusnya akan berputar-putar seperti itu,” tegasnya.

 

“Kalau struktur/budaya hukum Indonesia seperti ini, negara lain akan menyebut Indonesia adalah bangsa yang mudah lupa kalau dulu ada putusan MK, atau tidak tahu ada putusan MK. Persoalan sebenarnya hanya bersandar pada kesadaran hukum masyarakat. Kalau sadar berarti melaksanakan putusan MK, kalau tidak, tidak melaksanakan. Menurut saya ini soal rendahnya kultur kesadaran hukum dan berkonstitusi yang cenderung selalu memperdebatkan putusan.”

 

Diakui Fajar, MK memang tidak berwenang mengawal atau mengeksekusi putusannya. Semuanya, diserahkan kepada kesadaran hukum masyarakat yang respek terhadap putusan itu. “MK pun tidak boleh melakukan koordinasi atau memberi masukan atau pendapat atas putusannya. Sebab, semua RUU yang akan menjadi UU berpotensi untuk diuji ke MK,” katanya.

 

Baca Juga: “Haram” Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK

 

Dilarang dihidupkan kembali

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan mengatakan secara teori ketatanegaraan, MK sebagai lembaga penafsir konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. “Jadi, rumusan RKUHP seharusnya berdasarkan putusan MK, jika tidak maka akan menjadi persoalan ke depan (digugat kembali),” kata Jimmy saat dihubungi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait