Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri
Kolom

Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri

Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Bacaan 7 Menit

Pengaturan mengenai jurisdiction to enforce seyogianya dipisahkan dengan pengaturan jurisdiction to prescribe. Mencampuradukkan kedua jurisdiction seperti tercermin dalam rumusan Pasal 6 Ayat 1 huruf c RUU Polri akan menimbulkan berbagai persoalan hukum dan politik di tingkat internasional.

Fungsi Perlindungan

Pelaksanaan kewenangan Polri di bidang perlindungan terhadap WNI di LN juga berpotensi menimbulkan kerancuan hukum. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler secara tegas memberikan kewenangan untuk melakukan fungsi perlindungan terhadap warga negara  dan badan hukum Indonesia di seluruh wilayah Negara Penerima. Kewenangan ini kemudian dipertegas kembali oleh Pasal 19 UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri(UU Hubungan Luar Negeri).

Pengaturan Pasal 6 Ayat 1 huruf c  RUU Polri bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Konvensi Wina 1961 dan 1963 serta UU Hubungan Luar Negeri secara jelas memberikan kewenangan di bidang perlindungan WNI kepada misi diplomatik (KBRI/KJRI). Sebaliknya, RUU Polri menyerahkan pelaksanaan kewenangan ini kepada Polri dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum. Situasi seperti ini tidak hanya akan menimbulkan simpang siur kewenangan, tetapi juga persoalan politik dengan Negara Penerima.

Ruang lingkup kewenangan untuk melakukan perlindungan dalam RUU Polri juga menjadi terbatas dan semakin sempit, yaitu hanya meliputi lingkungan KBRI/KJRI saja. Hal ini sangat berbeda dengan kewenangan perlindungan menurut Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 kepada KBRI/KJRI yang meliputi seluruh wilayah Negara Penerima.

Fungsi Pemeliharaan Keamanan

Persoalan serupa juga muncul dalam pelaksanaan fungsi Polri di bidang pemeliharaan keamanan perwakilan Indonesia di LN. Pengaturan mengenai kewenangan tersebut juga tidak sejalan dengan Pasal 22 Ayat 2 Konvensi Wina 1961. Fungsi pemeliharaan keamanan premis diplomatik sesungguhnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya Negara Penerima. Konvensi Wina 1961 secara gamblang menegaskan kewajiban Negara Penerima untuk menjamin dan memelihara keamanan premis diplomatik dari segala bentuk gangguan keamanan dan ketertiban.

Kewajiban pengamanan internal gedung perwakilan Indonesia dalam praktiknya juga menjadi tanggung jawab setiap Duta Besar/Konsul Jenderal di LN. Namun, hal ini lebih merupakan persoalan teknis manajemen internal perwakilan Indonesia yang tidak perlu diatur dalam suatu peraturan setingkat undang-undang.

Akhirnya, kehidupan berbangsa dan bernegara modern telah memberikan nuansa baru dalam memahami Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut tidak semata berdimensi internal, melainkan juga eksternal. Sebagai negara hukum, Indonesia juga memperhatikan rule of law yang mengatur hubungan internasionalnya.

Tags:

Berita Terkait