Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri
Kolom

Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri

Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Bacaan 7 Menit

Indonesia juga menerapkan praktik yang serupa. Kedutaan Besar negara asing di Jakarta tetap tunduk dan harus mematuhi peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia. Selama ini, Polri juga tetap melaksanakan fungsi penegakan hukum dalam berbagai tindak pidana yang terjadi di lingkungan kedutaan besar negara asing di Jakarta. 

Salah satu contoh konkret adalah penanganan kasus terorisme di Kedubes Australia di Jakarta. Proses hukum terkait kejahatan terorisme tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa premis Kedubes Australia di Jakarta masih merupakan bagian dari wilayah dan termasuk dalam yurisdiksi Indonesia. 

Sebaiknya RUU Polri tidak memuat ketentuan yang berimplikasi seolah-olah KBRI adalah bagian dari wilayah Indonesia. Selain tidak sejalan dengan hukum internasional, perluasan fungsi dan wewenang Polri dimaksud  juga akan menimbulkan berbagai persoalan praktis.

Fungsi Penegakan Hukum

Persoalan utama yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan fungsi dan kewenangan Polri di bidang penegakan hukum yaitu penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan. Kewenangan tersebut pada pokoknya merupakan jurisdiction to enforce yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara berdaulat. Namun, jangkauan penerapannya terbatas dan hanya dapat dilakukan di wilayah Indonesia.

Permanent Court of International Justice  dalam Kasus Lotus (1927) memutuskan bahwa  jurisdiction to enforce hanya dapat diterapkan oleh suatu negara di dalam wilayahnya sendiri. Pembatasan ini kemudian dipertegas kembali oleh Piagam PBB dengan prinsip penghormatan kedaulatan negara lain dan prinsip nonintervensi.

Atas dasar itu, aparat hukum negara lain dilarang melakukan tindakan penegakan hukum di wilayah Indonesia, begitu juga sebaliknya. Polri juga tidak dapat menerapkan kewenangannya pada perwakilan Indonesia di LN. Misalnya aparat penegak hukum Indonesia tidak boleh membawa senjata dan atau melakukan penangkapan terhadap siapapun di dalam KBRI/KJRI. Jadi, jurisdiction to enforce berbeda dengan kewenangan negara untuk membuat suatu aturan pidana (jurisdiction to prescribe).

Indonesia memang memiliki jurisdiction to prescribe yang relatif luas, misalnya membuat peraturan pidana yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang terjadi di luar wilayahnya (Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP Baru yang menerapkan prinsip ekstrateritorial). Namun, kewenangan penegakan hukum pasal-pasal KUHP itu dibatasi oleh wilayah kedaulatan Indonesia. Polri tidak dapat melaksanakannya di kedaulatan teritorial negara lain. Keberadaan pasal-pasal KUHP itu tidak dapat digunakan sebagai dalih untuk memperluas daerah hukum Polri sehingga menjangkau KBRI/KJRI di LN.

Tags:

Berita Terkait