Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri
Kolom

Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri

Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Bacaan 7 Menit

Dinamika ini mendorong masyarakat internasional untuk menerapkan prinsip tidak dapat diganggu-gugat (inviolability). Berdasarkan prinsip ini, status teritorial premis diplomatik tetap menjadi bagian integral wilayah Negara Penerima. Semua peristiwa hukum yang terjadi di dalam premis diplomatik tidak dapat dianggap terjadi di dalam wilayah Negara Pengirim. Oleh karena itu, kedaulatan Negara Penerima tetap berlaku. Tidak hanya itu, status, peruntukan, pengelolaan, pemeliharaan premis diplomatik tersebut juga sepenuhnya tunduk pada kedaulatan dan aturan hukum nasional Negara Penerima. 

Meski demikian, prinsip inviolability sangat membatasi kewenangan aparat hukum Negara Penerima. Mereka dilarang memasuki atau melakukan intervensi dalam bentuk apa pun kecuali dengan persetujuan Duta Besar. Premis diplomatik juga tidak boleh digeledah, disita, apalagi dikenakan tindakan eksekusi. Menurut prinsip ini, Negara Penerima memiliki kewajiban hukum untuk memelihara keamanan premis diplomatik dari segala bentuk gangguan keamanan atau ketertiban.

Prinsip inviolability tersebut tidak hanya berlaku terhadap gedung/kantor kedutaan saja. Wisma Duta Besar/Konsul Jenderal beserta semua rumah tinggal staf diplomatik juga dapat menikmati keistimewaan dan perlindungan yang sama.

Status dan kedudukan prinsip inviolability sebagai norma hukum kebiasaan internasional semakin kuat setelah International Court of Justice (ICJ) mengeluarkan keputusan tentang pemberian suaka diplomatik (Columbia v. Peru) pada tahun 1950. ICJ berpandangan bahwa pemberian suaka diplomatik oleh sebuah kedutaan dapat mengurangi kedaulatan Negara Penerima. Tindakan tersebut dianggap telah menghalangi penerapan yurisdiksi Negara Penerima. Keputusan ICJ tersebut pada pokoknya menegaskan kembali bahwa premis diplomatik tetap menjadi bagian dari wilayah dan tunduk pada yurisdiksi Negara Penerima. 

Prinsip inviolability selanjutnya mendapat perhatian khusus oleh International Law Commission ketika mempersiapkan rancangan konvensi internasional tentang hubungan diplomatik.  Pada tahun 1963, masyarakat internasional akhirnya menerima keberlakuan prinsip tersebut dengan disepakatinya Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Ketentuan ini kemudian dipertegas kembali dalam Konvensi Wina tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler. Indonesia telah mengesahkan dan menjadikan kedua Konvensi Wina tersebut menjadi bagian dari hukum nasional dengan UU No.1 Tahun 1982.

Pasal 22 Konvensi tersebut secara khusus menekankan keberlakuan prinsip inviolability. Pasal ini sama sekali tidak menyebutkan prinsip ekstrateritorial atau ketentuan lain yang dapat memperluas kedaulatan suatu negara bisa meliputi perwakilan diplomatiknya di LN.

Keberlakuan prinsip inviolability juga ditopang oleh praktik yang konsisten baik di berbagai negara—misalnya Amerika Serikat, Inggris, Jerman, RRT—maupun organisasi internasional. Bahkan, European Court of Human Rights dalam kasus M v. Denmark tahun 1990 juga berpandangan bahwa premis diplomatik tetap menjadi bagian wilayah Negara Penerima, meskipun kewenangannya sangat dibatasi oleh prinsip inviolability.

Tags:

Berita Terkait