Menelusuri Kembali Perjalanan Kasus 'Kopi Sianida' Jessica Kumala Wongso
Terbaru

Menelusuri Kembali Perjalanan Kasus 'Kopi Sianida' Jessica Kumala Wongso

Setelah 8,5 tahun menjalani masa tahanan, Jessica akhirnya bisa menghirup udara bebas. Dia dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi selama 58 bulan 30 hari. Jessica juga masih wajib lapor dan mengikuti bimbingan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Timur-Utara hingga delapan tahun ke depan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Beberapa ahli yang kompeten juga memberikan keterangan sebagai saksi ahli, seperti Ahli forensik RS Polri Kramat Jati, dr. Slamet Purnomo; ahli forensik Universitas Indonesia (Dokter di RSCM), Budi Sampurna; ahli toksikologi Puslabfor Mabes Polri, Kombes Nursamran Subandi; ahli toksikologi forensik Universitas Udayana Bali, I Made Agus Gelgel Wirasuta.

Kemudian ada ahli psikologi klinis Universitas Indonesia, Antonia Ratih Andjayani; ahli Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Natalia Widiasih Raharjanti; ahli psikologi Universitas Indonesia (Guru Besar Psikologi UI), Sarlito Wirawan; ahli digital forensik Puslabfor Mabes Polri (Kasubdit Komputer Forensik), AKBP Muhammad Nuh; ahli digital forensik Universitas Monash Australia, Christopher Hariman Rianto; ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif; dan ahli kriminologi Universitas Indonesia, Ronny Nitibaskara.

Vonis dan Pertimbangan Hakim

Setelah menjalani 32 kali persidangan, Jessica akhirnya divonis 20 tahun penjara. Putusan ini sejalan dengan tuntutan jaksa. Majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan Jessica yakni akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal, perbuatan Jessica adalah keji dan sadis karena dilakukan kepada teman sendiri, terdakwa tidak pernah menyesal, dan tidak mengakui perbuatan sendiri. Sementara hal yang meringankan adalah Jessica masih muda dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya di masa mendatang.

Dalam membacakan pertimbangan, majelis menyatakan bahwa tiga bukti yang ada diatur di dalam KUHAP adalah sah. Bukti CCTV yang selama ini dipersoalkan oleh tim penasihat hukum dibantah oleh majelis. Hakim menilai CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah selama berkesesuaian dengan keterangan saksi dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Apalagi, penggunaan CCTV untuk mengungkap suatu tindak pidana sudah sering dilakukan oleh para penegak hukum dan diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Majelis mengesampingkan keterangan ahli Mudzakkir tentang otopsi yang terdapat di dalam Peraturan Kapolri. Majelis menilai, bahwa kewajiban otopsi tersebut berada di dalam Peraturan Kapolri yang secara hierarkis posisinya berada jauh di bawah KUHAP.  “Walaupun tidak dilakukan otopsi di dalam tubuh korban bukan berarti penyebab kematian tidak bisa ditemukan,” kata hakim anggota, Partahi Tulus Hutapea.

Dalam pertimbangannya majelis menegaskan tak harus ada saksi mata yang melihat seseorang melakukan perbuatan pidana. Hakim bisa memperoleh dari bukti tidak langsung. Kecurigaan terhadap pihak kafe Olivier yang mungkin melakukan pembunuhan juga dijelaskan oleh hakim dengan logika. Bagi majelis, jika benar pihak kafe Olivier yang merencanakan pembunuhan maka pasti es kopi vietnam sudah dibuang. Artinya, sianida sudah ada di dalam es kopi vietnam tersebut sebelum penyidik melakukan pemeriksaan.

Terkait kecilnya jumlah sianida yang ditemukan di dalam tubuh Mirna, majelis mengutip penjelasan dari ahli toksikologi forensik, Nursamran Subandi. Jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh Mirna melewati lethal dosis mematikan, namun yang ditemukan sedikit karena sudah mengalami penyerapan oleh usus dan menguap di dalam lambung saat sianida bertemu asam lambung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait