Membumikan Bahasa Hukum
Kolom

Membumikan Bahasa Hukum

"Aduh sulit amat sih istilahnya, sudah begitu tidak ada penjelasannya lagi," seorang teman berkomentar terhadap berita tentang pengadilan Ketua DPR Akbar Tandjung. Rupanya, teman yang bukan orang hukum ini kerepotan juga memahami berbagai istilah teknis di bidang hukum. Padahal bagi para praktisi hukum, pemakaian terminology hukum dan penyisipan istilah asing sudah menjadi kelaziman. Apalagi mereka terbiasa menggunakan kalimat yang panjang, sangat detil dan berputar-putar. Masalahnya, bagaimana "membumikan" bahasa hukum agar lebih universal dan mudah dipahami?

Bacaan 2 Menit

Dari kamus ke komik

Keberhasilan penulisan kolom adalah bila para pakar hukum itu dapat menyajikan tema spesifik dengan bahasa yang sulit menjadi bahan bacaan yang mudah dicerna bagi masyarakat luas. Dasarnya tentu saja kesadaran berbagi pengetahuan tidak hanya untuk pembaca tertentu dan terbatas. Penulis bisa menjelaskan definisi teknis  dengan penjelasan yang gamblang atau menggunakan narasi, metafora dan anekdot yang bersifat lebih universal tanpa berkesan menggurui. Tulisan yang rumit dengan struktur kalimat yang bertele-tele diganti dengan struktur kalimat sederhana tanpa mengurangi bobot tulisan.

Sebuah tulisan dengan tema hukum akan memikat pembaca jika mengandung gagasan baru, informatif, bermanfaat, obyektif, dan berbobot. Ia ditulis dengan tata bahasa dan ejaan yang benar-termasuk penggunaan titik dan komanya serta struktur kalimatnya-, akurasi fakta, istilah yang mudah dipahami, dan kaya dengan anakdot yang warna-warni. Ia lahir dari kesadaran penulis yang dapat memahami kebutuhan pembaca dari pikiran jernih dan hati bersih. Percayalah, sebuah tulisan yang bertenaga, berjiwa, dan bahasa hukum yang lebih membumi, akan lebih menarik bagi pembaca media massa.

Agar bahasa hukum lebih membumi, tampaknya harus ada kesadaran dan gerakan bersama di antara praktisi hukum dan masyarakat. Media dapat menjembatani komunikasi antara praktisi hukum dan masyarakat dengan lebih banyak menyajikan artikel yang berkaitan dengan hukum. Praktisi dan penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara) tidak gagah-gagahan atau berlindung di balik istilah hukum yang rumit untuk kepentingannya. Justru melalui tulisan dan pernyataannya, mereka diharapkan dapat menjelaskan istilah atau fenomena hukum dengan sederhana dan istilah teknis.

Langkah yang perlu dan mendesak adalah dibuatnya kamus istilah hukum serta pedoman menulisnya dalam bentuk yang praktis. Praktisi hukum bisa duduk bersama-sama dengan pakar bahasa serta wartawan dan asosiasinya untuk menyusun kamus terminologi hukum yang jelas dibutuhkan, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang hukum. Dengan adanya kamus hukum praktis ini, wartawan atau penulis tidak akan terkecoh, apalagi terbengong-bengong mendengar  istilah teknis atau terminologi hukum. Selain itu, praktisi atau pejabat pun tidak perlu khawatir ucapannya bakal dipelintir. Masyarakat pun akan lebih melek hukum karena lebih mengerti maksud bahasa hukum yang dibacanya.

Terobosan lain yang tak kalah menarik adalah pembuatan sebuah "komik hukum," semisal sebuah kebijakan publik atau  opini hukum lainnya yang dianggap mendesak untuk diketahui khalayak. Keduanya bisa diterjemahkan dalam bahasa komik. Tujuannya, untuk mempermudah masyarakat dalam memahaminya.  Sebab, selama ini banyak orang yang malas membaca artikel hukum karena kering dan menjemukan. Belum lagi tempelan-tempelan istilah hukum yang sangat teknis  dalam bahasa asing selalu menghiasi kalimat-kalimat hukum, semakin memacu keengganan untuk meneruskan niat baca.

Nah, mengapa tidak menggunakan komik sebagai pilihan strategi cerdik dalam menjembatani distribusi ilmu hukum?  Menterjemahkan terminologi dan kasus hukum dalam bentuk kartun atau komik yang kaya dengan visualisasi gambar, akan memperingan dan mempermudah mencerna terminologi hukum yang rumit.  Sehingga, lebih gampang terekam dalam memori.

Buku The Death of Economics karya Prof. Dr. Paul Ormerod misalnya,  bisa dijadikan contoh sebagai penyampai ilmu teknis ke dalam bahasa gambar. Buku ini sangat membantu banyak orang yang semula pusing dan alergi dengan istilah atau teori ekonomi menjadi lebih mudah mengerti setelah membacanya. Sebab buku yang beredar di London pada 1994 ini mulai  memperkenalkan pembaca dengan teori-teori ekonomi klasik Adam Smith, Karl Marx, dan ekonom tersohor lainnya dengan menggunakan permainan gambar. Meski sempat dikecam oleh beberapa ekonom ortodoks, sebaliknya "pengkomikan" istilah ekonomi dalam The Death of Economics justru banyak mendapat sambutan hangat oleh pembacanya.

Contoh buku teknis lain yang juga menggunakan gaya serupa adalah buku Quantum Theory for Beginners.  Buku ini mendeskripsikan teori-teori  fisika kuantum dari sejumlah fisikawan macam Planck, Bohr, Einstein, Dirac, dan Heisenberg dengan menggunakan ilustrasi bergambar dan mampu menghadirkan pemahaman menyeluruh akan teori-teori eksak tersebut. Atau jika mau mencari cerita bergambar (cergam) tentang tasawuf, coba simak "Karung Mutiara" karya Hermawan. Buku ini tentu tidak semata ditujukan untuk orang dewasa yang iseng atau anak-anak karena gambarnya yang lucu dan memikat, tapi juga mengajak renungan yang mendalam tentang hikmah-hikmah  dari filsuf dan sekaligus sufi terkenal Imam Ghazali dari bukunya Ihyaa-u Uluumid Diin.

Lantas, mengapa tidak dicoba membuat komik hukum yang  dapat memberikan gambaran jelas tentang berbagai istilah teknis, terminologi, atau kasus hukum dengan enteng atau gaya kocak? Dari pada menjelaskan panjang lebar istilah ne bis in idem, lebih gampang menggambarkannya dengan orang yang tersandung dua perkara yang sama tidak dapat dapat dijatuhi hukuman. Gambar keledai tertawa nyengir, bisa menjadi visualisasi yang lebih atraktif dan bisa membuat orang tersenyum geli. Orang pun jadi teringat pepatah, "kuda pun tidak akan jatuh dalam lobang yang sama."  Satu hal yang perlu diingat, pesan misi hukumnya sampai ke pembaca dengan penyampaian yang menghibur.

A. Priyanto adalah wartawan hukumonline.com

Tags: