Membumikan Bahasa Hukum
Kolom

Membumikan Bahasa Hukum

"Aduh sulit amat sih istilahnya, sudah begitu tidak ada penjelasannya lagi," seorang teman berkomentar terhadap berita tentang pengadilan Ketua DPR Akbar Tandjung. Rupanya, teman yang bukan orang hukum ini kerepotan juga memahami berbagai istilah teknis di bidang hukum. Padahal bagi para praktisi hukum, pemakaian terminology hukum dan penyisipan istilah asing sudah menjadi kelaziman. Apalagi mereka terbiasa menggunakan kalimat yang panjang, sangat detil dan berputar-putar. Masalahnya, bagaimana "membumikan" bahasa hukum agar lebih universal dan mudah dipahami?

Bacaan 2 Menit
Membumikan Bahasa Hukum
Hukumonline

Membumikan bahasa hukum berarti menyederhanakan dan menyebarluaskan bahasa hukum, terutama melalui media massa. Fakta dan peristiwa hukum dijalin dalam sebuah berita untuk dapat dikomunikasikan ke pembaca. Harapannya, berbagai istilah hukum itu bisa dimengerti dan dipahami oleh pembaca yang tidak memiliki latar belakang hukum dan bukan semata-mata melayani komunitas hukum. Membumikan bahasa hukum bisa dilakukan dengan mempopulerkan berbagai istilah teknis hukum yang kerap dipakai. Agar lebih mudah dipahami, bahasa hukum itu juga diolah dengan sentuhan jurnalistik.

Kasus yang tengah digelar di pengadilan menjadi incaran para wartawan dan salah satu menu wajib yang disajikan oleh media. Sayangnya, tidak sedikit wartawan yang tidak akurat atau terpeleset dalam menggunakan istilah hukum. Misalnya, sebuah koran menulis judul "Tersangka Pengebom Atrium Senen Divonis Seumur Hidup."  Sekilas bagi orang awam, berita ini menarik karena vonis seumur hidup itu. Namun fakta sebenarnya, jaksa baru membacakan tuntutan. Sementara vonis nantinya akan diputus oleh hakim. Akibatnya, tentu bisa fatal karena dapat merugikan korban dan keluarganya serta menipu pembaca.

Kesalahan memilih kata bisa terjadi karena si penulis  tidak memahami maksud dan pengertian istilah hukum yang dipakainya, seperti beda 'terlapor,' 'terdakwa,' 'tersangka' atau 'tergugat'.  Coba lihat istilah yang kerap digunakan di pengadilan seperti, tempus delicti atau locus delicti. Tempus delicti bisa diartikan waktu terjadinya sebuah peristiwa hukum, sedangkan locus delicti berarti tempat atau lokasi terjadinya sebuah peristiwa hukum. Meski mempunyai padanan arti dalam bahasa Indonesia, pemakaian istilah asing tersebut tetap saja dipertahankan. Belum lagi berbagai istilah hukum lainnya yang membuat dahi berkerut-kerut. Apalagi kajian hukum memang amat luas, mulai dari pidana, perdata, perburuhan, internasional, HAM, hingga lingkungan. Bahkan, seorang sarjana hukum pun belum tentu menguasai berbagai istilah hukum yang banyak mengunakan asing, khususnya Bahasa Belanda.       

Kasus Buloggate dengan terdakwa Akbar Tandjung menjadi santapan berita hukum yang lezat bagi wartawan dan menyedot perhatian masyarakat. Berita ini menarik perhatian karena menyangkut skandal yang melibatkan pejabat dan elite politik. Namun, persoalannya menjadi tidak mudah bila masyarakat sudah disodorkan pada fakta, tafsir, dan analisis hukumnya. Masyarakat tentu akan bertanya-tanya terhadap pernyataan jaksa menanggapi pertanyaan wartawan mengenai surat dakwaan terhadap Akbar dan terdakwa lainnya (Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang) yang digabung?  Jaksa menyatakan, "Kalau bersama-sama ini akan enak sekali pembuktiannya dalam hal  madedaderschaap  dan deelneming."

Jangankan bagi orang awam, bagi mereka yang pernah belajar ilmu hukum saja mungkin lupa atau malah belum mendengar istilah tersebut karena kebetulan program kekhususannya berbeda. Langkah paling mudah adalah mengacu kepada kamus hukum sebagai pedoman menyangkut istilah-istilah yang digunakan dalam surat dakwaan, gugatan, dan perjanjian. Melalui Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia), bisa dilihat bahwa madedaderschaap adalah gabungan beberapa perbuatan  dan deelneming adalah turut melakukan.

Selain Kamus Istilah Hukum, ada juga Kamus Hukum Ekonomi yang terbatas pada ragam istilah yang berkaitan dengan hukum ekonomi. Padahal cakupan bidang hukum ekonomi sangat luas, mulai dari pasar modal, perbankan, pajak, dan lain-lain. Belum lagi istilah hukum yang relatif baru, terutama berkaitan dengan hukum dunia maya dan hak kekayaan intelektual. Seorang wartawan atau penulis yang tidak memiliki latar belakang hukum mungkin tidak begitu memerlukan berbagai kamus hukum yang memuat secara rinci berbagai istilah teknis atau asing yang berkaitan dengan hukum.

Banyak wartawan mengeluhkan tidak adanya kamus praktis istilah hukum yang sering dipakai di pengadilan atau biasa digunakan oleh praktisi hukum. Dengan adanya panduan istilah hukum dan penjelasannya, diharapkan penulis yang bukan orang hukum tidak terpeleset dalam mengartikan dan memahami sebuah istilah hukum. Tidak kalah pentingnya adalah pedoman mengenai cara penulisan yang sudah lazim bagi komunitas hukum. Misalnya, penulisan nomor undang-undang dan ketetapan MPR, atau penulisan pasal. Patokan ini perlu agar ada standarisasi dalam penulisan dan menjadi "pakem" yang harus diikuti dalam penulisan yang berkaitan dengan bahasa hukum.

Bahasa hukum dan jurnalistik

Bahasa hukum mempunyai berbagai istilah yang diambil bahasa asing, seperti juga bidang kedokteran atau teknik. Bagi komunitas hukum, penggunaan berbagai istilah dan interpretasinya mungkin tidak terlalu bermasalah. Nah jika istilah itu disebarluaskan melalui media, tentu saja harus ada penjelasan yang cermat mengenai berbagai istilah asing itu. Apalagi pemakaian bahasa hukum lebih meluas karena banyak kalangan yang berhubungan atau membutuhkan informasi hukum, seperti perundang-undangan, peraturan, dan kebijakan.

Para praktisi hukum memang sudah terbiasa menggunakan berbagai istilah hukum  sesuai dengan kebutuhannya. Sementara para pembaca berita di koran, majalah, atau media online kebanyakan adalah orang yang awam terhadap istilah hukum. Pemakaian istilah hukum yang tidak jelas dan berlebihan justru dapat membosankan dan mungkin bisa mengurangi selera pembaca untuk membaca berita atau artikel tersebut. Pasalnya, kebanyakan pembaca justru tidak mau dipusingkan dengan berbagai istilah teknis. Pembaca justru lebih membutuhkan peritiwa yang hangat, atau yang menghebohkan. Jadi, bukan mengenai bagaimana atau penjelasan dan dasar-dasar hukumnya.

Ada definisi kocak tentang berita yang dipopulerkan oleh Charles A. Dhana pada 1882, "jika  anjing menggigit orang itu bukan berita. Bila orang menggigit anjing, nah itu baru berita."  Orang lebih gampang tersentuh atau tertarik membaca sebuah berita jika itu mengandung unsur aktualitas, ada keistimewaan, memiliki daya tarik, memiliki dampak, dan menyangkut kepentingan umum. Karena itu, sebagian besar tulisan di koran adalah jenis berita yang biasanya ditulis pendek-pendek, bahasanya lugas, langsung menukik ke permasalahan, tanpa banyak bunga-bunga, dan strukturnya tidak banyak bervariasi. Karakteristik berita ini jelas berbeda dengan bahasa hukum yang biasanya menggunakan kalimat yang panjang-panjang,  bertele-tele, dan menjemukan.

Selain mengandung persyaratan faktual, informatif, objektif, dan akurat, tentu saja berbagai informasi dan fakta mengenai kasus hukum atau sidang di pengadilan harus diolah dan dikemas dengan menarik. Seperti mengolah makanan, sang koki harus piawai "menggoreng" tulisannya agar enak dibaca. Dengan pilihan kata dan kalimat yang berisi, sebuah informasi hukum yang biasa-biasa saja mungkin bisa memikat pembacanya. Biasanya, pembaca akan tertarik membaca sebuah artikel dari judul atau lead (intro atau teras) yang menggoda. Misalnya, sebuah lead berita berikut:

"Coca-Cola,... dahsyat Man," begitu bunyi sebuah iklan lama Coca-Cola yang dibintangi Hakeem Olajuwon, jagoan bolabasket negro AS. Uniknya, perusahaan raksasa minuman cola dari Negeri Paman Sam ini harus membayar sekitar Rp1,6 triliun gara-gara melakukan diskriminasi terhadap pekerja negro. Ini baru benar-benar, dahsyat Man!  (hukumonline.com,  19 November 2000).

Sebenarnya informasi dari berita itu biasa saja bahwa Coca-Cola harus membayar Rp1,6 triliun karena melakukan diskriminasi. Untuk menciptakan unsur dramatis, lalu si penulis mengingatkan tentang iklan perusahaan itu yang dibintangi pemain basket negro terkenal. Jadi pesannya lebih gampang ditangkap dan mengena, perusahaan multinasional yang pernah menggunakan bintang negro, tapi justru melakukan diskriminasi terhadap karyawannya yang negro.

Haruslah diingat, pembaca media akan memilih berita yang benar-benar penting atau menarik. Apalagi ada puluhan media-baik cetak, elektronik, online-harus bersaing ketat untuk dapat menjaring dan memikat konsumennya. Jangan lupa pula bahwa pembaca juga mempunyai waktu terbatas karena berbagai kesibukannya. Karena itu, jangan heran kalau berita atau artikel yang membosankan dan kering karena dikemas seadanya tidak bakal memikat pembaca.

Berwarna-warni

Toh, informasi yang biasa-biasa saja masih bisa menarik jika ditampilkan dalam bentuk feature yang sarat dengan human interest. Gaya penulisan feature atau karangan khas (karkas) memungkinkan si penulis untuk melakukan eksplorasi lebih dalam, mengkaji dari berbagai sisi, pengkayaan data dan literatur dan memberikan argumentasi serta melakukan analisis yang tajam, juga memberikan pengkayaan dan pilihan kata yang berwarna-warni.

Pembaca juga akan dipuaskan karena artikel itu bukan sekadar memaparkan informasi seadanya, melainkan juga mengungkap pelaku, motivasi, proses, dan konsekuensinya. Pendekatan seperti ini biasa digunakan untuk mengungkap kasus hukum yang berbau skandal, manipulasi atau kongkalikong. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah pemaparan mengenai dasar hukum dan penjelasan yang lebih tuntas dari pengertian hukum yang ada beserta implikasinya. Memang ini tidak gampang karena menuntut kerja keras untuk mengumpulkan dan menelisik fakta, kecerdasan untuk memahami dasar hukum beserta tafsir dan analisisnya, serta kepiawaian merangkaikan kata-kata.

Gaya penulisan yang mendalam cocok untuk penulisan laporan investigasi, suatu kreasi eksotik jurnalistik. Misalnya, keberhasilan pers Amerika Serikat mengungkap kasus Watergate semasa Presiden Richard Nixon pada 1974. Laporan hasil investigasi pertama juga bermula dari pengadilan pada awal abad 18. John Peter Zenger (38 tahun) dari Weekly Journal membongkar skandal keuangan Gubernur New York, William Cosby. Zenger yang didampingi pengacara kawakan Andrew Hamilton dengan bukti-bukti yang kuat mematahkan argumen hakim yang saat itu tunduk pada hukum adat Inggris: "The greater the truth, the greater the libe." Akhirnya juri menyatakan Zenger tidak bersalah dan inilah kali pertama media massa menang perkara melawan pemerintah di AS.

Selain berita dan tulisan mendalam atau fokus yang ditulis oleh wartawan, media juga biasa menyajikan tulisan opini atau kolom dari para praktisi hukum. Sayangnya, praktisi hukum yang mau berbagi pengetahuannya untuk melakukan "pencerahan" kepada khalayak pembaca tidak banyak. Dari yang sedikit itu, penulis kolom dengan tema hukum yang bisa dipahami oleh banyak orang lebih sedikit lagi. Kebanyakan, pembaca enggan membaca artikel opini hukum karena terlalu berat dan serius.

Tampaknya, masih banyak penulis yang berpandangan bahwa makin rumit sebuah tulisan, makin berbobot dan bergengsi. Makin banyak menggunakan istilah timnggi dan menyisipkan istilah asing, maka makin bermutu pula isinya. Pandangan ini jelas keliru, karena pembaca koran, majalah, dan media online adalah masyarakat luas, sehingga si penulis sebaiknya tidak berasumsi seluruh pembaca mengetahui bahasa hukum. Apalagi kalau si penulis yang sangat pakar dalam suatu bidangnya kemudian terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan banyak menggunakan istilah teknis. Akibatnya, intisari yang hendak disampaikan kepada masyarakat malah sirna di antara buihan kalimat yang kering, datar dan panjang. Target penyebarluasan ide tidak tercapai.

Menulis untuk koran dan majalah tentu harus dibedakan untuk buku atau jurnal. Tentu saja praktisi hukum dapat leluasa menulis dengan menggunakan istilah hukum  beserta tafsir dan analisisnya untuk jurnal karena komunitasnya sama. Sementara pembaca koran, majalah, dan media online dengan target pembaca umum adalah untuk semua orang. Dengan topik yang sama, penulis opini hukum di majalah diberikan kavling yang terbatas dibandingkan menulis di jurnal. Namun banyak orang, terutama mereka yang berlatar belakang hukum, lebih mudah menulis berhalaman-halaman ketimbang menulis ringkas.

Tulisan pendek bukan berarti dangkal, tanpa kedalaman, dan akhirnya malah terkesan murahan dan gampangan. Justru tulisan kolom diharapkan memiliki kedalaman karena karya itu lahir dari kreatifitas dari pengalaman si penulis. Karya itu muncul dari kesadaran dan pemahaman yang dalam akan masalah hukum yang ditulisnya, dan bisa jadi melalui proses permenungan yang panjang. Beberapa penulis kolom memiliki ide orisinil, punya ciri khas, lain dari yang lain. Mereka mampu menyajikan tema yang menarik dengan bahasa yang apik dan menghibur pembacanya. Seperti makanan, tulisan itu enak dikunyah, gurih, dan renyah.

Dari kamus ke komik

Keberhasilan penulisan kolom adalah bila para pakar hukum itu dapat menyajikan tema spesifik dengan bahasa yang sulit menjadi bahan bacaan yang mudah dicerna bagi masyarakat luas. Dasarnya tentu saja kesadaran berbagi pengetahuan tidak hanya untuk pembaca tertentu dan terbatas. Penulis bisa menjelaskan definisi teknis  dengan penjelasan yang gamblang atau menggunakan narasi, metafora dan anekdot yang bersifat lebih universal tanpa berkesan menggurui. Tulisan yang rumit dengan struktur kalimat yang bertele-tele diganti dengan struktur kalimat sederhana tanpa mengurangi bobot tulisan.

Sebuah tulisan dengan tema hukum akan memikat pembaca jika mengandung gagasan baru, informatif, bermanfaat, obyektif, dan berbobot. Ia ditulis dengan tata bahasa dan ejaan yang benar-termasuk penggunaan titik dan komanya serta struktur kalimatnya-, akurasi fakta, istilah yang mudah dipahami, dan kaya dengan anakdot yang warna-warni. Ia lahir dari kesadaran penulis yang dapat memahami kebutuhan pembaca dari pikiran jernih dan hati bersih. Percayalah, sebuah tulisan yang bertenaga, berjiwa, dan bahasa hukum yang lebih membumi, akan lebih menarik bagi pembaca media massa.

Agar bahasa hukum lebih membumi, tampaknya harus ada kesadaran dan gerakan bersama di antara praktisi hukum dan masyarakat. Media dapat menjembatani komunikasi antara praktisi hukum dan masyarakat dengan lebih banyak menyajikan artikel yang berkaitan dengan hukum. Praktisi dan penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara) tidak gagah-gagahan atau berlindung di balik istilah hukum yang rumit untuk kepentingannya. Justru melalui tulisan dan pernyataannya, mereka diharapkan dapat menjelaskan istilah atau fenomena hukum dengan sederhana dan istilah teknis.

Langkah yang perlu dan mendesak adalah dibuatnya kamus istilah hukum serta pedoman menulisnya dalam bentuk yang praktis. Praktisi hukum bisa duduk bersama-sama dengan pakar bahasa serta wartawan dan asosiasinya untuk menyusun kamus terminologi hukum yang jelas dibutuhkan, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang hukum. Dengan adanya kamus hukum praktis ini, wartawan atau penulis tidak akan terkecoh, apalagi terbengong-bengong mendengar  istilah teknis atau terminologi hukum. Selain itu, praktisi atau pejabat pun tidak perlu khawatir ucapannya bakal dipelintir. Masyarakat pun akan lebih melek hukum karena lebih mengerti maksud bahasa hukum yang dibacanya.

Terobosan lain yang tak kalah menarik adalah pembuatan sebuah "komik hukum," semisal sebuah kebijakan publik atau  opini hukum lainnya yang dianggap mendesak untuk diketahui khalayak. Keduanya bisa diterjemahkan dalam bahasa komik. Tujuannya, untuk mempermudah masyarakat dalam memahaminya.  Sebab, selama ini banyak orang yang malas membaca artikel hukum karena kering dan menjemukan. Belum lagi tempelan-tempelan istilah hukum yang sangat teknis  dalam bahasa asing selalu menghiasi kalimat-kalimat hukum, semakin memacu keengganan untuk meneruskan niat baca.

Nah, mengapa tidak menggunakan komik sebagai pilihan strategi cerdik dalam menjembatani distribusi ilmu hukum?  Menterjemahkan terminologi dan kasus hukum dalam bentuk kartun atau komik yang kaya dengan visualisasi gambar, akan memperingan dan mempermudah mencerna terminologi hukum yang rumit.  Sehingga, lebih gampang terekam dalam memori.

Buku The Death of Economics karya Prof. Dr. Paul Ormerod misalnya,  bisa dijadikan contoh sebagai penyampai ilmu teknis ke dalam bahasa gambar. Buku ini sangat membantu banyak orang yang semula pusing dan alergi dengan istilah atau teori ekonomi menjadi lebih mudah mengerti setelah membacanya. Sebab buku yang beredar di London pada 1994 ini mulai  memperkenalkan pembaca dengan teori-teori ekonomi klasik Adam Smith, Karl Marx, dan ekonom tersohor lainnya dengan menggunakan permainan gambar. Meski sempat dikecam oleh beberapa ekonom ortodoks, sebaliknya "pengkomikan" istilah ekonomi dalam The Death of Economics justru banyak mendapat sambutan hangat oleh pembacanya.

Contoh buku teknis lain yang juga menggunakan gaya serupa adalah buku Quantum Theory for Beginners.  Buku ini mendeskripsikan teori-teori  fisika kuantum dari sejumlah fisikawan macam Planck, Bohr, Einstein, Dirac, dan Heisenberg dengan menggunakan ilustrasi bergambar dan mampu menghadirkan pemahaman menyeluruh akan teori-teori eksak tersebut. Atau jika mau mencari cerita bergambar (cergam) tentang tasawuf, coba simak "Karung Mutiara" karya Hermawan. Buku ini tentu tidak semata ditujukan untuk orang dewasa yang iseng atau anak-anak karena gambarnya yang lucu dan memikat, tapi juga mengajak renungan yang mendalam tentang hikmah-hikmah  dari filsuf dan sekaligus sufi terkenal Imam Ghazali dari bukunya Ihyaa-u Uluumid Diin.

Lantas, mengapa tidak dicoba membuat komik hukum yang  dapat memberikan gambaran jelas tentang berbagai istilah teknis, terminologi, atau kasus hukum dengan enteng atau gaya kocak? Dari pada menjelaskan panjang lebar istilah ne bis in idem, lebih gampang menggambarkannya dengan orang yang tersandung dua perkara yang sama tidak dapat dapat dijatuhi hukuman. Gambar keledai tertawa nyengir, bisa menjadi visualisasi yang lebih atraktif dan bisa membuat orang tersenyum geli. Orang pun jadi teringat pepatah, "kuda pun tidak akan jatuh dalam lobang yang sama."  Satu hal yang perlu diingat, pesan misi hukumnya sampai ke pembaca dengan penyampaian yang menghibur.

A. Priyanto adalah wartawan hukumonline.com

Tags: