Membumikan Bahasa Hukum
Kolom

Membumikan Bahasa Hukum

"Aduh sulit amat sih istilahnya, sudah begitu tidak ada penjelasannya lagi," seorang teman berkomentar terhadap berita tentang pengadilan Ketua DPR Akbar Tandjung. Rupanya, teman yang bukan orang hukum ini kerepotan juga memahami berbagai istilah teknis di bidang hukum. Padahal bagi para praktisi hukum, pemakaian terminology hukum dan penyisipan istilah asing sudah menjadi kelaziman. Apalagi mereka terbiasa menggunakan kalimat yang panjang, sangat detil dan berputar-putar. Masalahnya, bagaimana "membumikan" bahasa hukum agar lebih universal dan mudah dipahami?

Bacaan 2 Menit

Berwarna-warni

Toh, informasi yang biasa-biasa saja masih bisa menarik jika ditampilkan dalam bentuk feature yang sarat dengan human interest. Gaya penulisan feature atau karangan khas (karkas) memungkinkan si penulis untuk melakukan eksplorasi lebih dalam, mengkaji dari berbagai sisi, pengkayaan data dan literatur dan memberikan argumentasi serta melakukan analisis yang tajam, juga memberikan pengkayaan dan pilihan kata yang berwarna-warni.

Pembaca juga akan dipuaskan karena artikel itu bukan sekadar memaparkan informasi seadanya, melainkan juga mengungkap pelaku, motivasi, proses, dan konsekuensinya. Pendekatan seperti ini biasa digunakan untuk mengungkap kasus hukum yang berbau skandal, manipulasi atau kongkalikong. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah pemaparan mengenai dasar hukum dan penjelasan yang lebih tuntas dari pengertian hukum yang ada beserta implikasinya. Memang ini tidak gampang karena menuntut kerja keras untuk mengumpulkan dan menelisik fakta, kecerdasan untuk memahami dasar hukum beserta tafsir dan analisisnya, serta kepiawaian merangkaikan kata-kata.

Gaya penulisan yang mendalam cocok untuk penulisan laporan investigasi, suatu kreasi eksotik jurnalistik. Misalnya, keberhasilan pers Amerika Serikat mengungkap kasus Watergate semasa Presiden Richard Nixon pada 1974. Laporan hasil investigasi pertama juga bermula dari pengadilan pada awal abad 18. John Peter Zenger (38 tahun) dari Weekly Journal membongkar skandal keuangan Gubernur New York, William Cosby. Zenger yang didampingi pengacara kawakan Andrew Hamilton dengan bukti-bukti yang kuat mematahkan argumen hakim yang saat itu tunduk pada hukum adat Inggris: "The greater the truth, the greater the libe." Akhirnya juri menyatakan Zenger tidak bersalah dan inilah kali pertama media massa menang perkara melawan pemerintah di AS.

Selain berita dan tulisan mendalam atau fokus yang ditulis oleh wartawan, media juga biasa menyajikan tulisan opini atau kolom dari para praktisi hukum. Sayangnya, praktisi hukum yang mau berbagi pengetahuannya untuk melakukan "pencerahan" kepada khalayak pembaca tidak banyak. Dari yang sedikit itu, penulis kolom dengan tema hukum yang bisa dipahami oleh banyak orang lebih sedikit lagi. Kebanyakan, pembaca enggan membaca artikel opini hukum karena terlalu berat dan serius.

Tampaknya, masih banyak penulis yang berpandangan bahwa makin rumit sebuah tulisan, makin berbobot dan bergengsi. Makin banyak menggunakan istilah timnggi dan menyisipkan istilah asing, maka makin bermutu pula isinya. Pandangan ini jelas keliru, karena pembaca koran, majalah, dan media online adalah masyarakat luas, sehingga si penulis sebaiknya tidak berasumsi seluruh pembaca mengetahui bahasa hukum. Apalagi kalau si penulis yang sangat pakar dalam suatu bidangnya kemudian terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan banyak menggunakan istilah teknis. Akibatnya, intisari yang hendak disampaikan kepada masyarakat malah sirna di antara buihan kalimat yang kering, datar dan panjang. Target penyebarluasan ide tidak tercapai.

Menulis untuk koran dan majalah tentu harus dibedakan untuk buku atau jurnal. Tentu saja praktisi hukum dapat leluasa menulis dengan menggunakan istilah hukum  beserta tafsir dan analisisnya untuk jurnal karena komunitasnya sama. Sementara pembaca koran, majalah, dan media online dengan target pembaca umum adalah untuk semua orang. Dengan topik yang sama, penulis opini hukum di majalah diberikan kavling yang terbatas dibandingkan menulis di jurnal. Namun banyak orang, terutama mereka yang berlatar belakang hukum, lebih mudah menulis berhalaman-halaman ketimbang menulis ringkas.

Tulisan pendek bukan berarti dangkal, tanpa kedalaman, dan akhirnya malah terkesan murahan dan gampangan. Justru tulisan kolom diharapkan memiliki kedalaman karena karya itu lahir dari kreatifitas dari pengalaman si penulis. Karya itu muncul dari kesadaran dan pemahaman yang dalam akan masalah hukum yang ditulisnya, dan bisa jadi melalui proses permenungan yang panjang. Beberapa penulis kolom memiliki ide orisinil, punya ciri khas, lain dari yang lain. Mereka mampu menyajikan tema yang menarik dengan bahasa yang apik dan menghibur pembacanya. Seperti makanan, tulisan itu enak dikunyah, gurih, dan renyah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: