Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)
Kolom

Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)

Berdasarkan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dan juga yurisprudensi, alat bukti elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata atau hukum acara pidana.

Bacaan 8 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan sistem elektronik dalam proses transaksi, sebagian besar bukti transaksi tersebut adalah dokumen dan/atau informasi elektronik. Misalnya rekaman video, foto, faksimile, serta dokumen elektronik lainnya, baik yang dikaitkan dengan tanda tangan elektronik maupun tidak. Pada saat yang sama, transaksi elektronik juga membuka kemungkinan terjadinya sengketa seperti dalam transaksi secara konvensional. Oleh karena itu, sudah saatnya pengadilan mulai membiasakan diri menerima dokumen dan/atau informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah.  

Hukum merupakan sarana pembaharuan bagi pembangunan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Hukum akan berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi di segala bidang kehidupan. Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan. Ia menjamin agar perubahan terjadi secara teratur. Perubahan yang teratur dapat diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan yang dapat mengikuti arah pembangunan yang terjadi.

Indonesia sejak merdeka sampai saat ini masih menggunakan hukum acara perdata peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Darurat No.1 Tahun 1951, hukum acara perdata yang digunakan di Indonesia adalah Herzien Inlandsch Reglement/HIR (untuk wilayah Jawa dan Madura) dan Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura/Rbg (untuk wilayah luar Jawa dan Madura) (Fakhriah, 2017).

Baca juga:

5 Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata

Gagasan-Gagasan Dua Orang Jaksa tentang Alat Bukti Elektronik

Sistem pembuktian perkara perdata yang selama ini berlaku di Indonesia mengikat hakim pada alat-alat bukti yang sah berdasarkan hukum acara perdata. Alat bukti itu meliputi surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah (Pasal 164 HIR/284 RBg).

Alat bukti dalam perkara pidana juga disebutkan secara kaku dalam Pasal 184 KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ketentuan hukum acara tersebut tidak menyebutkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Alat bukti elektronik diakui berdiri sendiri hanya dalam Pasal 181 Qanun No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat terkait hukum acara perkara jinayat di Aceh. Jika implementasi pemeriksaan alat bukti diterapkan secara kaku, akan menjadi persoalan dalam suatu perkara dengan alat bukti yang diajukan berupa informasi dan/atau dokumen elektronik.

Alat bukti merupakan salah satu variabel penting dalam sistem pembuktian. Diterima atau tidak suatu alat bukti tertentu sangat mempengaruhi hasil pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara. Perkembangan yang terjadi dalam lalu lintas transaksi di tengah masyarakat dengan pelibatan dokumen elektronik—seperti di lembaga keuangan, perbankan, atau nonperbankan—harusnya dapat diikuti oleh sistem pembuktian di pengadilan.

Berdasarkan latar belakang di atas, setidaknya ada dua kondisi yang saling kontradiktif. Pertama, kenyataannya transaksi elektronik sudah begitu banyak terjadi dalam interaksi sosial, tapi di sisi lain hukum acara yang digunakan menganut sistem pembuktian tertutup. Kondisi demikian menarik untuk dikaji lebih lanjut terkait implementasi pemeriksaan alat bukti elektronik (digital evidence) dalam persidangan di pengadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait