Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)
Kolom

Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)

Berdasarkan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dan juga yurisprudensi, alat bukti elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata atau hukum acara pidana.

Bacaan 8 Menit

Penulis akan membahas tiga hal dalam artikel ini yaitu hakikat alat bukti elektronik; pemeriksaan alat bukti elektronik di pengadilan; tantangan dan solusi pemeriksaan alat bukti elektronik.

Alat Bukti Elektronik

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur di dalam hukum acara di Indonesia.

Ketentuan Pasal 1 UU ITE telah menjelaskan bahwa informasi elektronik pada pokoknya adalah satu atau sekumpulan data elektronik seperti tulisan, suara, gambar, dan lain-lain yang telah diolah, memiliki arti, atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Selanjutnya dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk digital atau sejenisnya yang memiliki makna/arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Alat bukti dapat diterima sebagai bukti di persidangan selama memenuhi kriteria sebagai alat bukti. Kriteria alat bukti yang dapat diterima di pengadilan adalah diperkenankan oleh undang-undang, dipercaya keabsahannya (reliability), berguna untuk membuktikan suatu fakta (necessity), dan mempunyai relevansi dengan fakta yang harus dibuktikan (relevance).

Menurut UU ITE, informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya(bukti elektronik) dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah selama memenuhi syarat formal dan materiel. Artinya, selama bukti elektronik dibuat menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak diatur lain dalam undang-undang, maka diterima sebagai alat bukti yang sah. Khusus untuk bukti elektronik hasil penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan, harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang berwenang. Ini sesuai penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU ITE dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Syarat materiel alat bukti elektronik menurut Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE adalah bukti elektronik yang autentik dan berintegritas karena menggunakan sistem elektronik dengan lima kriteria. Masing-masing adalah (1) dapat menampilkan kembali secara utuh bukti elektronik; (2) melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan bukti elektronik; (3) beroperasi sesuai dengan prosedur dan petunjuk; (4) dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang dapat dipahami; (5) memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur dan petunjuk.

Meski UU ITE telah menyebut bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan,  keabsahan alat bukti elektronik masih sering dipertanyakan oleh praktisi hukum. Masalah ini terjadi pula di kalangan hakim sehubungan dengan sistem pembuktian yang bersifat tertutup. Perlu diingat alat bukti elektronik hanya diatur di dalam hukum materiel tentang informasi dan transaksi elektronik, tapi tidak diatur di dalam hukum acara.

Tags:

Berita Terkait