Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)
Kolom

Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Pertama)

Berdasarkan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dan juga yurisprudensi, alat bukti elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata atau hukum acara pidana.

Bacaan 8 Menit

Dalam doktrin kepustakaan, secara umum dikenal empat macam sistem pembuktian. Pertama adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif yang disebut juga dengan teori pembuktian formal. Kedua adalah sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Ketiga adalah sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis. Terakhir adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Alat bukti elektronik tidak akan diperdebatkan eksistensinya sebagai alat bukti jika sistem pembuktian yang diberlakukan di Indonesia adalah yang kedua dan ketiga.

Sistem pembuktian pada peradilan di Indonesia adalah yang pertama yaitu sistem pembuktian formal. Namun, untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang saat ini sudah terbiasa melakukan transaksi elektronik, Mahkamah Agung melakukan pembaruan hukum acara yang mengakomodasi penggunaan dokumen elektronik. Sebut saja Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2019 yang telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2022, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 yang telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2022. Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, yang dimaksud dokumen elektronik dalam administrasi dan persidangan di pengadilan adalah dokumen terkait administrasi perkara dan persidangan yang diterima, disimpan, dan dikelola pada Sistem informasi Pengadilan (SIP).

Terkait dengan autentisitas dan integritas dokumen elektronik yang digunakan dalam persidangan, telah dijelaskan di dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 363/KMA/SK/XII/2022, 365/KMA/SK/XII/2022, dan 207/KMA/SK.HK2/X/2023. Seluruh dokumen elektronik yang telah diperiksa dan dinyatakan “sesuai dengan aslinya” dalam pemeriksaan persidangan, dianggap sebagai dokumen elektronik yang autentik dan berintegritas. Artinya, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang telah memenuhi kriteria tersebut diterima sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 701 K/Sip/1974 yang diucapkan tanggal 14 April 1976 juga telah menyebutkan bahwa foto kopi dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah disertai dengan keterangan atau bukti bahwa foto kopi tersebut sesuai dengan aslinya. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.4 Tahun 2016 juga menjelaskan bahwa alat bukti elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dan juga yurisprudensi, alat bukti elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata atau hukum acara pidana. Ini adalah langkah untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang terus berkembang,

Bukti elektronik disebutkan di dalam ketentuan Pasal 5 UU ITE sebagai perluasan dari alat bukti yang sah. Kata perluasan tersebut mengandung dua makna. Pertama adalah menambah alat bukti yang diatur dalam hukum acara, artinya alat bukti elektronik berdiri sendiri sebagai alat bukti. Kedua adalah memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam hukum acara, artinya alat bukti elektronik masuk ke dalam kelompok alat bukti yang telah diatur di dalam hukum acara. Dalam praktek peradilan dewasa ini cenderung menggunakan makna yang kedua.

Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut. Pertama, dalam perkara perdata alat bukti elektronik dikategorikan sebagai bukti surat jika dalam bentuk dokumen tertulis atau jika tidak dalam bentuk dokumen tertulis dijadikan sebagai dasar membangun persangkaan. Kedua, dalam perkara pidana alat bukti elektronik dikategorikan sebagai bukti surat jika dalam bentuk dokumen tertulis atau jika tidak dalam bentuk dokumen tertulis dijadikan sebagai bukti petunjuk, kecuali dalam pemeriksaan perkara jinayat yang sudah mendudukkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti tersendiri, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Demi mewujudkan sistem pembuktian yang dapat mengikuti perkembangan sosial secara fleksibel, penulis berpendapat bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara di Indonesia ke depan harus disusun dengan sistem terbuka. Hakim dapat membangun keyakinannya secara logis berdasarkan berbagai alat bukti yang secara fleksibel menyesuaikan dengan perkembangan lalu lintas hukum di tengah masyarakat.

Tags:

Berita Terkait