Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Akhir)
Kolom

Masalah Alat Bukti Elektronik di Sidang Pengadilan (Bagian Akhir)

Eksistensi dokumen elektronik telah diakui dalam putusan dan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Namun, Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang alat bukti elektronik untuk menghindari disparitas sikap hakim dalam mempertimbangkan alat bukti elektronik.

Bacaan 6 Menit

Ada hal spesifik yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan sidang jarak jauh antara perkara perdata dan perkara pidana. Persidangan jarak jauh dalam perkara perdata perlu memperhatikan hal sebagai berikut. Pertama, sidang jarak jauh hanya dilakukan untuk pemeriksaan saksi dan/atau ahli. Kedua, sidang dilaksanakan dengan menggunakan prasarana pengadilan, dalam hal saksi dan/atau ahli berada di luar negeri, saksi dan/atau ahli diperiksa dari kantor perwakilan RI setempat. Ketiga, pemeriksaan saksi dan/atau ahli diawasi oleh panitera pengganti pada pengadilan setempat atau petugas dari kantor perwakilan RI setempat.

Berbeda dengan sidang jarak jauh dalam perkara perdata, sidang jarak jauh dalam perkara pidana merupakan mekanisme pelaksanaan sidang secara elektronik dalam keadaan tertentu yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung. Misalnya kendala jarak, bencana alam, wabah penyakit, termasuk keadaan lain yang ditentukan oleh majelis hakim. Di antara ketentuan sidang jarak jauh dalam pemeriksaan perkara pidana adalah hakim/majelis hakim, panitera/panitera sidang, dan penuntut bersidang di ruang sidang pengadilan, sementara terdakwa bersidang dari rumah tahanan tempat terdakwa ditahan.

Jika dalam pelaksanaan sidang jarak jauh terjadi kendala teknis—seperti gangguan audio visual atau gangguan koneksi internet—maka sidang dihentikan sementara waktu. Langkah yang diambil adalah sidang diskors dan dibuka kembali setelah gangguan berakhir. Jika dalam waktu 60 menit kendala teknis tidak berakhir, sidang ditunda. Akhirnya, jika kendala teknis terjadi berkelanjutan maka sidang dilakukan tatap muka secara langsung.

Uraian tersebut di atas berakhir pada rumusan kesimpulan untuk berbagai persoalan yang dibahas artikel ini. Pertama, bukti elektronik yang autentik dan berintegritas serta memenuhi syarat formal dan materiel merupakan alat bukti yang sah dalam perkara perdata dan pidana. Lebih jelas lagi bahwa eksistensi dokumen elektronik telah diakui dalam putusan dan kebijakan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.

Kedua, alat bukti elektronik yang disertai dengan tanda tangan elektronik dapat diverifikasi dengan menggunakan aplikasi yang kompeten untuk keperluan tersebut. Jika bukti itu tidak disertai tanda tangan elektronik, dapat diverifikasi keautentikannya dengan mencocokkan dengan aslinya atau dilakukan digital forensik atau meminta keterangan ahli.

Ketiga, terdapat sejumlah kendala dalam penggunaan alat bukti elektronik yang dapat diatasi dengan berbagai solusi. Misalnya dengan memastikan alat bukti tersebut dihasilkan dari sistem elektronik yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Perlu juga meningkatkan literasi dan edukasi terkait transaksi elektronik bagi aparatur penegak hukum dan juga masyarakat.

Terakhir, kekosongan hukum yang ada perlu diisi agar menghindari disparitas sikap hakim dalam mempertimbangkan alat bukti elektronik. Penulis memandang Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang alat bukti elektronik. Peraturan Mahkamah Agung itu perlu berisi pedoman pemeriksaan alat bukti elektronik terkait tata cara autentikasi alat bukti elektronik dan kekuatan hukum alat bukti elektronik.

*) Syamsul Maarif adalah Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait