Marieta Mauren Bicara Teori dan Praktik Tanggung Jawab Perdata dalam Tubrukan Kapal
Terbaru

Marieta Mauren Bicara Teori dan Praktik Tanggung Jawab Perdata dalam Tubrukan Kapal

Selain dari aspek hukum internasional terkait keselamatan maritim, tubrukan kapal juga melibatkan aspek hukum perdata yang berkaitan dengan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam insiden tersebut.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Transportasi laut punya peran penting dalam perdagangan global. Sebagaimana diproyeksikan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam Review of Maritime Transport 2023, akan ada pertumbuhan perdagangan lintas laut rata-rata sebesar 2,1% per tahun dalam periode 2024-2028. Sayangnya, tingkat pertumbuhan tersebut juga membawa potensi risiko kecelakaan maritim, seperti kebakaran, tenggelam, hingga tubrukan kapal.

 

Kendati peningkatan desain, teknologi, regulasi, dan manajemen risiko telah menurunkan jumlah kecelakaan maritim dan kerugian dalam pengangkutan laut yang dilaporkan sampai 70%, bukan berarti tidak ada konsekuensi yang serius pada setiap kecelakaan maritim. Beberapa dampak yang tidak boleh diabaikan, di antaranya polusi lingkungan, kerusakan properti, hingga kehilangan nyawa. Sebagaimana dikutip dari Safety and Shipping Review 2024: An Annual Review of Trends and Development in Shipping Losses and Safety (2024), perairan Indonesia sendiri memiliki reputasi sebagai salah satu hotspot kerugian dan menyumbang sepertiga dari seluruh kerugian dalam pengangkutan laut pada tahun 2024. Penyebabnya beragam, mulai dari pelabuhan yang padat, jalur pelayaran yang sibuk, serta cuaca ekstrem.

 

Partner Kantor Hukum Marieta Mauren, Desi Rutvikasari mengungkapkan, risiko tubrukan kapal tergantung pada penerapan langkah-langkah keselamatan maritim. Keselamatan maritim ini telah lama diatur dalam kerangka hukum yang mencakup konvensi internasional maupun praktik standar. Dalam konteks ini, Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang keselamatan maritim, termasuk International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) dan Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs).

 

“Namun, selain dari aspek hukum internasional terkait keselamatan maritim, tubrukan kapal juga melibatkan aspek hukum perdata yang berkaitan dengan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam insiden tersebut,” kata Desi Rutvikasari.

 

Kerangka Hukum Tubrukan Kapal

Terdapat dua peraturan utama pengangkutan laut di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagaimana telah diubah (Undang-Undang Pelayaran—mengatur aspek administratif dan publik pengangkutan laut: tata kelola kepelabuhanan, perlindungan lingkungan laut, dsb.) yang dilengkapi dengan beberapa peraturan pelaksana. Kedua, undang-undang yang berasal dari masa kolonial Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, khususnya Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD—mengatur aspek perdata: hubungan hukum antara semua pihak dalam kegiatan pengangkutan laut, masalah seperti pencarteran kapal, kontrak pengangkutan, dan tubrukan).

 

Meski tak menjadi pihak dalam Convention for the Unification of Certain Rules of Law with Respect to Collisions between Vessels (Konvensi Tubrukan Brussel) yang ditandatangani pada 23 Desember 1810 di Brussel, ratifikasi yang telah dilakukan Belanda menjadikan konvensi tersebut masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang melalui asas konkordansi kemudian diterapkan di Indonesia setelah deklarasi kemerdekaan. Dengan kata lain, meski Indonesia bukan pihak dalam Konvensi Tubrukan Brussel, ketentuan tentang tubrukan dalam KUHD tetap sejalan dengan ketentuan konvensi.

 

Pasal 245 Undang-Undang Pelayaran, lanjut Desi, mendefinisikan kecelakaan kapal sebagai peristiwa yang membahayakan keselamatan kapal dan/atau kehidupan manusia, seperti tenggelam, kebakaran, tubrukan, dan kandasnya kapal. Sementara itu, Pasal 534 KUHD mendefinisikan tubrukan sebagai kontak antara satu kapal dengan kapal lainnya. Terdapat beberapa situasi yang masuk dalam definisi ’tubrukan’ di KUHD, seperti (a) apabila sebagai akibat dari metode navigasi atau ketidakpatuhan terhadap hukum atau peraturan apapun, suatu kapal menyebabkan kerusakan pada kapal lain, barang, atau orang-orang di kapal lain, peristiwa tersebut tetap dianggap sebagai tubrukan (Pasal 544) dan (b) apabila sebuah kapal menabrak atau berkontak dengan benda yang tidak dapat bergerak atau benda yang terikat pada satu benda (misalnya, dermaga) (Pasal 544a).

Tags:

Berita Terkait