Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!
Utama

Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!

Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

 “Memang risiko direksi/komisaris BUMN tersandung tuntutan Pidana lebih besar ketimbang Perusahaan swasta,” tukas Daniri.

 

Hal itu dipandang wajar lantaran BUMN harus comply dengan lebih banyak aturan ketimbang perusahaan swasta. Salah satu pasal yang seringkali menjebak dan membuat posisi Direksi dan Komisaris BUMN dalam bahaya adalah Pasal 2 poin f dan g UU 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengkategorikan Kekayaan BUMN termasuk penyertaan modal di dalamnya sebagai kekayaan Negara. Akibatnya, kata Daniri, bilamana BUMN merugi maka Direksi atau Komisaris bisa dianggap telah ‘merugikan keuangan negara’ sehingga dapat ditersangka-kan sebagai koruptor, Hotasi Nababan, anggota Dewan Direksi PT Merpati Airlines (Persero) salah satu contohnya.

 

Dalam Putusan No. 62/PUU-XI/2013, Pasal 2 poin g UU a quo pernah dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, namun ditolak Mahkamah. Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BUMN Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.

 

Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.

 

Atas putusan itu, Hikmahanto menyebut jika BUMN merugi maka resiko terseretnya manajemen BUMN ke ranah Pidana sebagai tersangka hingga vonis sebagai pelaku tindak pidana korupsi tetap saja masih sangat besar. Untuk itu, agar auditor dan aparat penegak hukum tidak selalu mengkategorikan kerugian BUMN sebagai Tindak Pidana Korupsi maka Hikmahanto menyarankan disusunnya Kode Etik BJR di internal BUMN.

 

Dalam Kode Etik BJR, perlu dipastikan bahwa setiap keputusan Direksi/Komisaris tidaklah diambil dengan Niat dan Perbuatan Jahat. Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas mana keputusan yang merupakan risiko bisnis dan bukan merupakan suatu tindak pidana. Pada akhirnya, sekalipun Direksi/Komisaris terjerat persoalan Pidana, ia dapat dengan mudah membuktikan bahwa unsur mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat) tidak terpenuhi.

 

“Manajemen di BUMN tak seharusnya dalam dilemma, jika perusahaan maju dirinya berpotensi terjerat pidana, sebaliknya dirinya akan aman dari jerat pidana jika perusahaan tidak maju,” tukas Hikmahanto.

 

Tags:

Berita Terkait