Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!
Utama

Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!

Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12).  Foto: RES
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12). Foto: RES

High risk, high return’, semakin tinggi risiko yang diambil dalam suatu bisnis maka semakin tinggi pula keuntungan yang mungkin akan didapatkan suatu perusahaan. Hanya saja, terlalu gegabah mengambil risiko tinggi atau sekadar tidak teliti dalam menakar risiko hingga berbuntut perusahaan merugi maka tak menutup kemungkinan direksi, komisaris beserta jajarannya diseret untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan berisiko tersebut, baik dalam bentuk gugatan pertanggungjawaban secara perdata bahkan hingga tuntutan pidana.

 

Bahkan disebutkan dalam Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusan dengan iktikad baik (good faith) serta penuh tanggungjawab. Lebih memberatkan lagi, dalam Pasal 155 UU a quo, pertanggungjawaban Direksi/Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya tak mengurangi pertanggungjawabannya di bidang Pidana.

 

Sebaliknya, direksi yang tak berani ambil risiko juga dapat menghambat perkembangan perusahaan. Dilemanya, keengganan Direksi dalam mengambil keputusan pun juga bisa dianggap sebagai ‘suatu keputusan’. Tak ingin serba salah dalam pengambilan keputusan? Nyatanya, UU PT telah mengadopsi konsep Business Judgment Rule (BJR) yang bisa dijadikan golden parachute (parasut emas) bagi Direksi/Komisaris.

 

Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

 

Hukumonline.com

 

Khusus untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), OJK juga mengabsorpsi konsep BJR melalui POJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam Pasal 13 ayat (2) POJK a quo juga diatur bahwa Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik jika mampu membuktikan hal-hal berikut:

 

  1. Kerugian terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggungjawab, kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten/ Perusahaan Publik;
  3. Tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

 

Tidak jauh berbeda dengan muatan prinsip BJR yang diatur Indonesia, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12), menyebut karakteristik BJR di beberapa Negara meliputi terpenuhinya dasar iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty).

 

(Baca Juga: Mau Utang ke Bank atau Lembaga Pembiayaan? Jangan Asal Tandatangan!)

 

Begitu besarnya wewenang diskresi yang dimiliki Direksi di satu sisi membenarkan tindakan Direksi mengambil keputusan untuk ‘kepentingan perusahaan’ (vide: Pasal 92 UU PT). Hanya saja yang menjadi persoalan, kata Hikmahanto, frasa ‘kepentingan perusahaan’ maknanya bisa sangat lentur sekali. Sehingga untuk menghindari persoalan serius di kemudian hari, Direksi, tim legal beserta divisi terkait perlu mendefinisikan betul ‘di awal’ apakah keputusan yang diambil betul atas dasar kepentingan perusahaan.

 

Untuk memastikan bahwa direksi telah berupaya menghimpun dan mempertimbangkan pengetahuan/data/informasi yang memadai, sejak awal pun sangat penting bagi direksi untuk meminta arahan dari berbagai fungsi-fungsi perusahaan, khususnya fungsi unit bisnis yang akan menjalankan keputusan itu, fungsi legal, fungsi keuangan dan fungsi lain yang bersangkutan. Sehingga keputusan bersama itu bisa dijadikan landasan bahwa Direksi telah dengan penuh kehati-hatian, beriktikad baik, berlandaskan due of care dan informed basis dalam menandatangi suatu kebijakan.

 

“Kalau semua prinsip itu sudah dilakukan, artinya BJR sudah berlaku,” tukas Hikmahanto.

 

Implementasi BJR di Indonesia

Apakah konteks implementasi BJR di lapangan akan betul-betul semanis janji-janji teks yang tercantum pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU PT? Pada prinsipnya, Hikmahanto berpendapat selama Direksi memenuhi prinsip-prinsip pengambilan keputusan seperti diatur dalam pasal a quo serta mampu membuktikan bahwa tindakan diambil dalam rangka BJR, maka Direksi tak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas keputusan yang diambilnya.

 

Layaknya membedakan mana kegagalan dokter yang tergolong malapraktikdan mana kegagalan karena memang sudah nasib pasien. Intinya dilihat dari apakah Standar Operasional Prosedur (SOP) sudah dijalankan. “Kalau sudah sesuai SOP dokter aman, tapi kalau SOP tidak dijalankan maka dokter baru dianggap malapraktik, begitupun halnya BJR ini,” jelas Hikmahanto.

 

(Baca Juga: Menyoal Superioritas DPR dalam Revisi UU BUMN)

 

Untuk menguji dipenuhi atau tidaknya prinsip-prinsip BJR tersebut oleh Direksi, dilakukan dalam bentuk pertanggungjawaban Direksi di hadapan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bila pertanggungjawaban diterima, maka manajemen dibebaskan dari tanggungjawab perusahaan, termasuk bila ada kerugian yang diderita oleh perusahaan (Acquit et de charge/release and discharge).

 

Bila pertanggungjawaban tidak diterima, pemegang saham atas nama perusahaan yang mewakili sedikitnya 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (vide: Pasal 97 ayat (6) UU a quo).

 

Skenario lain bahkan sekalipun pemegang saham mayoritas menerima pertanggungjawaban direksi namun pemegang saham minoritas berpendapat lain, maka pemegang saham minoritas juga dapat membawa gugatan pertanggungjawaban kerugian itu ke hadapan pengadilan.

 

“Di Pengadilan itulah Pemegang Saham yang menggugat harus membuktikan dalilnya bahwa manajemen tidak memperhatikan BJR dalam pengambilan keputusan,” kata Hikmahanto.

 

Kasus Direksi/Komisaris/Jajarannya Pernah Lolos dengan BJR?

Untuk mengantisipasi diseret-seret dalam masalah hukum atau sekalipun terseret namun bisa berhasil lolos dengan BJR, Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Mas Achmad Daniri, menyebut bahwa Direksi/Komisaris sangat perlu melakukan kajian internal secara mendalam terkait apakah ada risiko-risiko yang mungkin bisa timbul (dari risiko paling tinggi sampai paling ringan) setiap saat ketika direksi ingin mengambil suatu kebijakan. Misalnya berdasarkan hasil pengkajian internal, jika Direksi tak mengambil keputusan itu perusahaan bisa terancam pailit, itu juga termasuk salah satu alasan pembenar atas kebijakan Direksi.

 

Tak hanya terhenti dalam kajian internal saja, pendokumentasian hasil kajian internal hingga pembentukan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal perusahaan dalam pengambilan kebijakan juga teramat penting dilakukan. Dalam praktiknya, memang banyak persoalan muncul lantaran dokumentasi pengambilan keputusannya tak jelas atau tak lengkap. Tak sekadar iming-iming, kepada hukumonline Daniri menyebut hal itu pernah dibuktikan dalam sebuah kasus yang melibatkan Komisaris Utama sebuah Bank BUMN yang berhasil bebas dari jeratan hukum lantaran memiliki dokumentasi yang begitu rapi.

 

“Semuanya terdokumentasi dengan baik dan rapi sehingga mudah diperlihatkan bahwa apa yang dia jalankan sudah benar, akhirnya dia bebas,” ungkap Daniri.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, contoh lain ditemukan dalam Putusan No. 130 PK/Pid.Sus/2013 berupa bebasnya eks pejabat Bank Mandiri, Fachrudin Yasin (Group Head Corporate Relationship) dan Roy Ahmad Ilham (Group Head Credit Approval). Awalnya, kredit yang digelontorkan Fachrudin dan Roy kepada PT Arthabima Textindo dan PT Arthamustika Textindo dianggap Jaksa dilakukan secara melawan hukum dan tanpa melalui prosedur dan syarat yang ditentukan Bank.

 

Singkat Cerita, dua pejabat ini bebas di Pengadilan tingkat pertama, Dihukum 5 Tahun di tingkat kasasi, Tidak diterima pada PK Pertama oleh hakim agung Artidjo Alkostar, hingga akhirnya diputus bebas dalam PK Kedua. Dalam proses PK Kedua, terkuak bukti baru yang menunjukkan para pejabat itu telah berhati-hati mengambil kebijakan pengucuran kredit, diantara bukti baru yang dihadirkan seperti Surat Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia kepada Ketua BPPN tertanggal 20 Juni 2000, Nota No. CGR/CRM.3.109/2002 tertanggal 17 Juni 2002, Nota CGR/CRM.2.275/2002, Surat Edaran Bank Bandiri No. 006/KRD/RMN.POR/2002 tertanggal 24 Desember 2002 tentang Kebijakan Pengambilalihan Aset Kredit dari BPPN.

 

Sekalipun ‘ada’ sedikit kasus yang menunjukkan keberhasilan implementasi BJR, tetap saja lebih banyak kasus yang gagal lantaran lemahnya pengetahuan aparat penegak hukum soal keberlakuan prinsip BJR di Indonesia. Untuk itu, Daniri menganjurkan bahwa terhadap para Hakim maupun Jaksa perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi soal BJR ini. Hal itu menjadi penting, lantaran secara praktik masih saja ada aparat penegak hukum yang ‘hanya sekedar tahu’ atau bahkan ‘tidak tahu sama sekali’ soal eksistensi prinsip BJR ini dalam pertanggungjawaban Direksi/Komisaris.

 

 “Memang risiko direksi/komisaris BUMN tersandung tuntutan Pidana lebih besar ketimbang Perusahaan swasta,” tukas Daniri.

 

Hal itu dipandang wajar lantaran BUMN harus comply dengan lebih banyak aturan ketimbang perusahaan swasta. Salah satu pasal yang seringkali menjebak dan membuat posisi Direksi dan Komisaris BUMN dalam bahaya adalah Pasal 2 poin f dan g UU 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengkategorikan Kekayaan BUMN termasuk penyertaan modal di dalamnya sebagai kekayaan Negara. Akibatnya, kata Daniri, bilamana BUMN merugi maka Direksi atau Komisaris bisa dianggap telah ‘merugikan keuangan negara’ sehingga dapat ditersangka-kan sebagai koruptor, Hotasi Nababan, anggota Dewan Direksi PT Merpati Airlines (Persero) salah satu contohnya.

 

Dalam Putusan No. 62/PUU-XI/2013, Pasal 2 poin g UU a quo pernah dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, namun ditolak Mahkamah. Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BUMN Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.

 

Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.

 

Atas putusan itu, Hikmahanto menyebut jika BUMN merugi maka resiko terseretnya manajemen BUMN ke ranah Pidana sebagai tersangka hingga vonis sebagai pelaku tindak pidana korupsi tetap saja masih sangat besar. Untuk itu, agar auditor dan aparat penegak hukum tidak selalu mengkategorikan kerugian BUMN sebagai Tindak Pidana Korupsi maka Hikmahanto menyarankan disusunnya Kode Etik BJR di internal BUMN.

 

Dalam Kode Etik BJR, perlu dipastikan bahwa setiap keputusan Direksi/Komisaris tidaklah diambil dengan Niat dan Perbuatan Jahat. Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas mana keputusan yang merupakan risiko bisnis dan bukan merupakan suatu tindak pidana. Pada akhirnya, sekalipun Direksi/Komisaris terjerat persoalan Pidana, ia dapat dengan mudah membuktikan bahwa unsur mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat) tidak terpenuhi.

 

“Manajemen di BUMN tak seharusnya dalam dilemma, jika perusahaan maju dirinya berpotensi terjerat pidana, sebaliknya dirinya akan aman dari jerat pidana jika perusahaan tidak maju,” tukas Hikmahanto.

 

Tags:

Berita Terkait