Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!
Utama

Lindungi Direksi dari Jerat Hukum: Business Judgment Rule Jawabannya!

Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Mau Utang ke Bank atau Lembaga Pembiayaan? Jangan Asal Tandatangan!)

 

Begitu besarnya wewenang diskresi yang dimiliki Direksi di satu sisi membenarkan tindakan Direksi mengambil keputusan untuk ‘kepentingan perusahaan’ (vide: Pasal 92 UU PT). Hanya saja yang menjadi persoalan, kata Hikmahanto, frasa ‘kepentingan perusahaan’ maknanya bisa sangat lentur sekali. Sehingga untuk menghindari persoalan serius di kemudian hari, Direksi, tim legal beserta divisi terkait perlu mendefinisikan betul ‘di awal’ apakah keputusan yang diambil betul atas dasar kepentingan perusahaan.

 

Untuk memastikan bahwa direksi telah berupaya menghimpun dan mempertimbangkan pengetahuan/data/informasi yang memadai, sejak awal pun sangat penting bagi direksi untuk meminta arahan dari berbagai fungsi-fungsi perusahaan, khususnya fungsi unit bisnis yang akan menjalankan keputusan itu, fungsi legal, fungsi keuangan dan fungsi lain yang bersangkutan. Sehingga keputusan bersama itu bisa dijadikan landasan bahwa Direksi telah dengan penuh kehati-hatian, beriktikad baik, berlandaskan due of care dan informed basis dalam menandatangi suatu kebijakan.

 

“Kalau semua prinsip itu sudah dilakukan, artinya BJR sudah berlaku,” tukas Hikmahanto.

 

Implementasi BJR di Indonesia

Apakah konteks implementasi BJR di lapangan akan betul-betul semanis janji-janji teks yang tercantum pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU PT? Pada prinsipnya, Hikmahanto berpendapat selama Direksi memenuhi prinsip-prinsip pengambilan keputusan seperti diatur dalam pasal a quo serta mampu membuktikan bahwa tindakan diambil dalam rangka BJR, maka Direksi tak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas keputusan yang diambilnya.

 

Layaknya membedakan mana kegagalan dokter yang tergolong malapraktikdan mana kegagalan karena memang sudah nasib pasien. Intinya dilihat dari apakah Standar Operasional Prosedur (SOP) sudah dijalankan. “Kalau sudah sesuai SOP dokter aman, tapi kalau SOP tidak dijalankan maka dokter baru dianggap malapraktik, begitupun halnya BJR ini,” jelas Hikmahanto.

 

(Baca Juga: Menyoal Superioritas DPR dalam Revisi UU BUMN)

 

Untuk menguji dipenuhi atau tidaknya prinsip-prinsip BJR tersebut oleh Direksi, dilakukan dalam bentuk pertanggungjawaban Direksi di hadapan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bila pertanggungjawaban diterima, maka manajemen dibebaskan dari tanggungjawab perusahaan, termasuk bila ada kerugian yang diderita oleh perusahaan (Acquit et de charge/release and discharge).

 

Bila pertanggungjawaban tidak diterima, pemegang saham atas nama perusahaan yang mewakili sedikitnya 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (vide: Pasal 97 ayat (6) UU a quo).

 

Skenario lain bahkan sekalipun pemegang saham mayoritas menerima pertanggungjawaban direksi namun pemegang saham minoritas berpendapat lain, maka pemegang saham minoritas juga dapat membawa gugatan pertanggungjawaban kerugian itu ke hadapan pengadilan.

Tags:

Berita Terkait