Layanan Notaris Secara Elektronik dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Kolom

Layanan Notaris Secara Elektronik dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

​​​​​​​Perlu ada terobosan hukum bagi Ikatan Notaris Indonesia untuk melakukan terobosan hukum bersama instansi terkait.

Bacaan 2 Menit

 

Namun demikian, dinamika terkininya pun tengah diupayakan kemungkinan penyelenggaraan proses peradilan melalui elektronik oleh Mahkamah Agung melalui implementasi e-court ditambah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020, yang memberikan legalitas terhadap penyelenggaraan sidang melalui sarana telekonferensi selama masa pencegahan penyebaran Covid-19.Kemudian Kejaksaan Agung juga menerbitkan Instruksi Jaksa Agung No.5 Tahun 2020. Semua upaya tersebut di atas memperlihatkan adanya kesadaran kolektif akan kebutuhan penyelenggaran administrasi pemerintahan untuk tetap dapat melakukan pelayanan publik secara daring.

 

Ironisnya, masih ada satu pemberi layanan jasa hukum yang relatif tertinggal atau terkesan lamban menyikapi situasi kedaruratan, yaitu Notaris sebagai Pejabat Umum yang sebenarnya juga memberikan pelayanan jasa publik. Tampaknya Notaris Indonesia masih terkesan gamang untuk mentranformasi diri guna dapat menyelenggarakan jasanya secara elektronik. Padahal, masyarakat sangat membutuhkan kesigapan dan dinamisnya fungsi dan peran Notaris dalam menghadapi situasi kedaruratan ini untuk dapat menyeleggarakan pelayanan jasanya secara daring.

 

Alasan klasik yang selalu menjadi alasan utama adalah adanya norma keharusan kehadiran fisik dalam membuat akta dan tidak dapat melakukannya secara elektronik karena harus melakukannya secara kertas sebagaimana tertuang dalam UU No. 30/2004 Jabatan Notaris yang terakhir direvisi dengan UU No. 2/2014 (UU-JN). Tambahan lagi, pasal 5 ayat (4) UU ITE toh juga mengecualikan akta notaris dalam konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sehingga berpotensi permasalahan hukum bagi para notaris, baik secara perdata, administrative atau bahkan mungkin pidana.

 

Ibarat memakan buah simalakama, tidak berpraktik membuka kantor akan dianggap meninggalkan tugas, namun jika berpraktik dengan tatap muka secara fisik berarti sama saja dengan tidak mematuhi kebijakan pemerintah dan berisiko tinggi untuk terpapar virus. Sementara itu, kehadiran fisik terlanjur dipersepsikan sebagai syarat mutlak dan tidak tergantikan oleh tatap muka secara elektronik, sehingga Work From Home pun seakan tidak dapat dilakukan.  

 

Dikhawatirkan jika tidak dilakukan secara fisik akan mempunyai konsekuensi hukum bagi Notaris, antara lain; (i) status akta autentik akan menjadi turun menjadi akta bawah tangan, yang akibatnya  (ii) akan terjadi gugatan kepada notaris oleh para pengguna jasanya di kemudian hari; (iii) tidak ada jaminan keamanan terhadap system elektronik dan dokumen elektronik yang rawan diubah-ubah dan berpotensi bocor sehingga melanggar keharasiaan , (iv) dapat terjadi penampikan oleh para pihak, dan (iii) kemungkinan tidak diterimanya dokumen tersebut oleh instansi terkait, sehingga (iv)  berpotensi kepada sanksi pemberhentian yang harus dihadapi oleh Notaris karena tidak menjalankan kepatuhan hukum.

 

Menjawab kekhawatiran tersebut, perlu disampaikan beberapa hal sebagai berikut;

  1. Pasal pengecualian dalam UU ITE sesungguhnya bukanlah suatu larangan sehingga tidak dengan sendirinya menihilkan kewenangan Notaris untuk menyelenggarakan jasanya secara elektronik.

 

Sesuai historikalnya, maksud pengecualian Pasal 5 ayat (4) huruf (a) dan (b) UU ITE semangatnya adalah tidak mutlak karena selayaknya selaras dengan dinamika teknologi yang berkembang dan akan merujuk kepada UU sektoral sebagai Lex Specialis-nya, Sebagaimana referensinya dalam UNCITRAL Model Law on e-Commerce (1996), yang mana ketentuan pengecualian itu pun kini sudah tidak dicantumkan lagi. Terlepas dari perdebatan tafsir terhadap pasal pengecualian tersebut, faktanya pasal pengecualian bukanlah berarti suatu larangan bagi Notaris untuk menjalankan pekerjaannya secara elektronik atau melarang penggunaan sistem elektronik bagi Notaris. Jadi sesuai lex-specialis nya kembali kepada UU-JN itu sendiri, sekiranya berani melakukan terobosan hukum maka pengecualian tersebut tentu menjadi tidak mutlak lagi keberlakuannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait