Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur
Feature

Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur

Sejak tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an. Masih terus berlanjut.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Kesimpulan itu diperkuat fakta bahwa tidak ada kode etik profesi yang berlaku sama untuk semua advokat, apalagi pengawasannya. Baru tahun 1995 ada kesepakatan kode etik bersama bagi anggota Ikadin, AAI, dan IPHI di bawah naungan Forum Komunikasi Advokat Indonesia/FKAI. Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Ikadin menarik diri dari FKAI lalu kembali mengacu kode etik Ikadin untuk anggotanya. Sebabnya karena Ikadin ingin diakui sebagai wadah tunggal pemersatu alih-alih FKAI.

Perlu diketahui, kode etik profesi digunakan organisasi advokat untuk keperluan ujian masuk bagi calon anggotanya. Hal itu karena baik ujian profesi advokat maupun pengacara praktik masih sepenuhnya diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Bisa dimengerti mengapa keterikatan advokat pada organisasi advokat tidak kuat karena kontrol ujian profesi ada di tangan Mahkamah Agung.

UU Advokat dan Konflik Berkelanjutan

UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat berhasil mendirikan Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi dengan menghidupkan kembali visi wadah tunggal organisasi advokat. UU Advokat menjadi undang-undang pertama yang mengatur profesi advokat secara khusus. Namun, polemik organisasi advokat kembali terjadi sejak tahun-tahun awal Peradi berdiri. Hanya empat tahun sejak Peradi lahir pada Desember 2004, Kongres Advokat Indonesia/KAI dideklarasikan pada Mei 2008.

Polanya kembali berulang. Keberadaan Peradi tidak berhasil membuat organisasi advokat yang membentuknya bubar. Pada saat yang sama, ketidakpuasan pada Peradi melahirkan organisasi advokat tandingan. Lebih lanjut, baik Peradi maupun KAI juga terpecah jadi beberapa kubu kepengurusan yang mengklaim nama yang sama.

Kini, Peradi terbagi dalam tiga kubu yang mengklaim sah menyandang nama Peradi. Di sisi lain ada tiga kubu pula yang mengklaim sah menyandang nama KAI. Padahal kehadiran Peradi awalnya menjadi tonggak baru sistem rekrutmen advokat yang diatur sendiri oleh organisasi advokat.

UU Advokat sebenarnya mendesain Peradi sebagai satu-satunya yang berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi dan ujian profesi. Hanya ada satu Kode Etik Advokat Indonesia yang ditegakkan Peradi hingga sanksi pemecatan profesi. Artinya, keputusan perekrutan dan pemecatan sepenuhnya ada di tangan Peradi.

Namun, UU Advokat masih mewajibkan calon advokat bersumpah sebelum menjalankan profesinya. Mandat pengambilan sumpah diserahkan pada sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Tanpa sumpah ini, pengangkatan status advokat oleh organisasi advokat tidak ada artinya.

Konflik perpecahan Peradi serta kemunculan KAI dan berbagai organisasi advokat lain masih terkendali sampai tahun 2015. Sampai saat 2015 itu hanya calon advokat dari Peradi yang diterima Mahkamah Agung untuk diambil sumpah profesi advokat.

Babak baru konflik dimulai saat Peradi akhirnya pecah menjadi tiga kubu kepengurusan yang sama-sama mengaku sah. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali tampak tidak mau ambil pusing. Ia menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali kala itu mungkin enggan jika Pengadilan terus direpotkan soal polemik perpecahan organisasi advokat. Pengadilan turut terseret konflik karena bertugas mengambil sumpah profesi advokat.

Isi Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 membuat Peradi bukan lagi pemegang hak tunggal mengajukan pengambilan sumpah advokat oleh Pengadilan Tinggi. Tentu saja ini berdampak pada klaim Peradi sebagai wadah tunggal profesi advokat.

Sejak tahun 2015, semua organisasi yang menyatakan diri sebagai organisasi advokat manapun diterima oleh Mahkamah Agung untuk mengajukan pengambilan sumpah advokat. Tidak hanya Peradi yang pecah tiga kubu, KAI yang pecah tiga kubu, bahkan AAI yang kini pecah tiga kubu, serta Ikadin yang kini pecah dua kubu pun diterima dengan tangan terbuka oleh Mahkamah Agung.

Entah sampai kapan tradisi konflik ini berkelanjutan. Saat ini tampaknya fungsi organisasi advokat untuk mengembangkan profesionalitas advokat diambil alih kantor-kantor hukum. Padahal laporan riset PSHK dua dekade silam sudah menegaskan, “Organisasi Advokat harusnya bekerja tidak semata-mata untuk kepentingan anggotanya dan hukum. Ia juga bekerja untuk kepentingan publik secara langsung”.

Hukumonline.com

Akhirnya, advokat yang andal kini sepenuhnya hasil gemblengan kantor-kantor hukum andal. Tidak peduli apa latar belakang organisasi advokat yang mengangkatnya, kredibilitas kantornya yang penting. Toh, para pengurus organisasi advokat terlalu sibuk meramaikan suasana dari kongres ke kongres. Memantau Hukumonline Top 100 Indonesian Law Firms - ajang pemeringkatan kantor hukum Indonesia - terlihat lebih menjanjikan alih-alih memantau dinamika konflik organisasi advokat. Mungkin.

Tags:

Berita Terkait