Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur
Feature

Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur

Sejak tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an. Masih terus berlanjut.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Usul itu tentu saja untuk kepentingan politik mengontrol profesi advokat. Tugas rekayasa peleburan itu dilakukan oleh Ali Said dengan mendirikan Ikatan Advokat Indonesia/Ikadin pada 10 November 1985. Para anggota Peradin tidak menyerah begitu saja. Kompromi alot sampai pada kesimpulan Peradin tetap berdiri bersama dengan Ikadin. Ketua Umum Peradin Harjono Tjitrosoebono ditempatkan sebagai Ketua Umum Ikadin meski tidak secara demokratis.

Perlu dicatat bahwa Peradin pada dasarnya tidak pernah dibubarkan. Hanya saja, para anggotanya beramai-ramai pindah ke Ikadin. Pemerintah saat itu tidak berhasil memaksa Peradin dan organisasi-organisasi advokat yang ada untuk sepenuhnya melebur dalam Ikadin.

Bersamaan dengan itu, profesi pokrol dan pengacara praktik masih berlanjut di Indonesia. Pengacara praktik berbeda dengan pokrol. Mereka bisa dikatakan punya kompetensi dan gelar kesarjanaan hukum seperti advokat. Hanya saja wilayah kerjanya terbatas hanya di Pengadilan Tinggi yang memberi lisensi.

Kegagalan intervensi lewat Ikadin dilanjutkan dengan mempertajam konflik antara profesi advokat dengan pengacara praktik. Pemerintah memberikan izin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia/IPHI sebagai organisasi bagi pengacara praktik. IPHI berdiri di Surabaya dengan Abdul Azis Muhammad Bahlmar sebagai Ketua. Selama ini pengacara praktik tidak bisa bergabung dalam wadah organisasi advokat yang ada.

Tahun 1990 terjadi perpecahan Ikadin yang didukung Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Ikadin Cabang Jakarta yang dipimpin Gani Djemat dan Yan Apul menyempal setelah gagal mengambil alih kepemimpinan Ikadin. Mereka lalu mendeklarasikan Asosiasi Advokat Indonesia/AAI.

Di luar konflik Peradin, Ikadin, lalu AAI, para advokat dengan spesialiasi tertentu juga mendirikan organisasi terbatas. Misalnya pada tahun 1988 berdiri Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia/AKHI, lalu disusul Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal/HKHPM.

Konflik organisasi advokat Indonesia sempat menjadi perhatian komunitas internasional berkaitan dengan keanggotaan di International Bar Association/IBA. AAI sempat mendapat pengakuan keanggotaan oleh IBA untuk mewakili Indonesia, tapi dicabut untuk dikembalikan pada Ikadin. “Organisasi advokat tidak lagi menjadi wadah kolektif profesi untuk melaksanakan fungsi profesionalnya, namun justru lebih banyak berperan sebagai perkumpulan belaka,” demikian kesimpulan laporan riset PSHK.

Tags:

Berita Terkait