Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur
Feature

Konflik Organisasi Advokat Indonesia, Tradisi Tiada Akhir Warisan Leluhur

Sejak tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an. Masih terus berlanjut.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit
Foto Ilustrasi: PSHK
Foto Ilustrasi: PSHK

Seorang advokat senior tercatat pernah memberi deskripsi soal organisasi advokat di Indonesia: Suatu organisasi yang hidup dari kongres ke kongres, namun tidak ada apapun di antara kongres tersebut. Pernyataan ini terungkap dalam laporan riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berjudul Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Benarkah pernyataan itu sesuai fakta?

Laporan riset PSHK sebenarnya terbit dua dekade silam. Namun, hasil pengamatan Hukumonline atas dunia profesi hukum Indonesia menyimpulkan isinya masih relevan. Tidak banyak suasana yang berubah sejak dua puluh tahun lalu hingga sekarang. Tentu saja bukan tidak ada perubahan. Hanya saja, gambaran besarnya masih sama.

Misalnya, tidak pernah ada jawaban pasti untuk pertanyaan berapa jumlah organisasi advokat di Indonesia. Semarak pendirian organisasi advokat baru atau perpecahan satu organisasi advokat menjadi dua bahkan tiga masih lumrah di Indonesia. Konflik internal organisasi advokat bisa dibilang sudah menjadi tradisi. Bahkan lahirnya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak berhasil mengubah tradisi itu. Mengapa begitu?

Baca Juga:

Cerita soal organisasi advokat mungkin harus dimulai dari asal-usul profesi advokat di Indonesia. Peneliti asal Amerika Serikat, Daniel Saul Lev (Dan Lev) mencatat semua advokat di tanah Indonesia sampai pertengahan tahun 1920-an adalah orang Belanda.

“Advokat Indonesia yang pertama adalah Mr.Besar Martokoesoemo, yang juga membantu advokat Indonesia lainnya untuk memulai karier sebagai advokat,” kata Dan Lev dalam bukunya berjudul Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan.  Mr.Besar lahir di Brebes tahun 1893 dengan status sebagai anak Jaksa. Ia masuk Rechtsschool tahun 1909. Pada tahun 1920 ia berangkat kuliah ke Leiden dengan biaya mandiri untuk meraih gelar Meester in de Rechten/Mr.

Mr.Besar berangkat bersama 12 lulusan Rechtsschool angkatan pertama yang melanjutkan studi hukum ke Leiden. Lulus dalam waktu tiga tahun, ia kembali pada 1923 lalu membuka kantornya berlokasi di Tegal, Jawa Tengah. Kantor ini berkembang hingga memiliki cabang di Semarang.

Dan Lev menilai Mr.Besar telah berhasil dalam merintis karier profesi advokat bagi kalangan orang Indonesia. Ia memantapkan jalan sejumlah rekannya di Leiden ikut berpraktik advokat antara lain Sartono, Sastro Mulyono, Suyudi, dan Ali Sastro Amidjojo.

Advokat Indonesia generasi awal yang juga penting disebut adalah Mr.Iskaq Tjokroadisurjo. Mr.Iskaq lahir tahun 1896, tercatat sebagai advokat Indonesia yang gesit merintis cabang di berbagai kota melampaui Mr.Besar. Ia adalah pendiri kantor advokat Indonesia pertama di Jakarta, lalu melakukan ekspansi mendirikan kantor-kantor di Bandung, Surabaya, Makassar, dan Manado.

Dan Lev mengatakan kantor-kantor hukum Mr.Besar dan Mr.Iskaq adalah yang paling besar kala itu. Namun, jumlah advokat yang bekerja di sana tidak lebih dari 6 hingga 7 orang. Para advokat Indonesia ini tidak bisa diterima membaur dengan kalangan advokat Belanda yang sudah lama ada. “Banyak advokat Belanda menganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan,” kata Dan Lev.

Sebuah dokumen sejarah bahkan menunjukkan ada permusuhan tersembunyi. Terungkap surat menyurat di kalangan advokat Belanda agar tidak bekerja sama, apalagi memberi pekerjaan pada advokat Indonesia. Diskriminasi ini tidak hanya dialami advokat Indonesia, tapi juga advokat keturunan Cina saat itu. Saat itu advokat Indonesia dan keturunan Cina tersingkir dari komunitas organisasi advokat yang ada.

Laporan riset PSHK menyebut organisasi advokat sebenarnya sudah ada di kota-kota besar sebelum kehadiran Mr.Besar. Tentu saja keanggotaannya hanya untuk advokat Belanda. Organisasi itu dikenal dengan nama Balie van Advocaten. Justru, pokrol Indonesia yang lebih dulu berhimpun membentuk organisasi tahun 1927 dengan nama Persatuan Pengacara Indonesia/PERPI di Surabaya.

Perlu dicatat bahwa pokrol tidak sama dengan advokat. Mereka bukan sarjana hukum bergelar Meester in de Rechten. Eksistensi pokrol muncul di pengadilan sebagai kuasa dari pihak berperkara. Kehadiran mereka menjadi alternatif yang diizinkan pengadilan kolonial Belanda selain jasa advokat.

Istilah pokrol pada mulanya berasal dari procureur yaitu istilah Belanda untuk kuasa hukum perdata. Pengetahuan hukum tidak diperoleh pokrol dari pendidikan formal, tapi mereka diizinkan berpraktik di pengadilan. Kalangan pokrol ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai pengacara. Itu sebabnya mereka menggunakan nama pengacara saat mendirikan PERPI.

PSHK mencatat tidak ada data ditemukan soal organisasi advokat selain Balie van Advocaten dan PERPI pada masa itu. Baru pada masa 1959-1960 muncul organisasi advokat yang didirikan advokat Indonesia di Jawa Tengah. Organisasi advokat Indonesia skala lokal ini selanjutnya bermunculan di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya dengan nama Balai Advokat.

Organisasi Advokat Nasional

Awal tahun 1960-an menjadi titik awal lahirnya organisasi advokat dengan skala nasional. Persatuan Advokat Indonesia/PAI resmi berdiri 14 Maret 1963 dalam rangkaian Seminar Hukum Nasional. Ketua pertamanya adalah Mr.Loekman Wiriadinata. PAI ini disepakati para pendirinya hanya bersifat sementara dalam rangka mewujudkan wadah tunggal organisasi advokat nasional.

Setahun kemudian, Persatuan Advokat Indonesia menggunakan singkatan baru Peradin setelah dibentuk lewat Kongres khusus di Solo. Peradin dinyatakan berdiri pada 30 Agustus 1964. Peradin mengupayakan konsistensi Indonesia sebagai negara hukum pasca tumbangnya Orde Lama di tahun 1966.

Orde Baru mempercayai Peradin dengan penegasan secara politik sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia. Namun, Peradin berani bersikap kritis pada kemandegan Orde Baru membangun demokrasi. Terjadi kerenggangan dengan Orde Baru terutama pada tahun 1977 saat kongres Peradin meneguhkan jati diri sebagai organisasi perjuangan.

Visi organisasi perjuangan itu membuat sejumlah tokoh Peradin yang pro Orde Baru mengundurkan diri. Tidak hanya mundur, mereka juga mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia/HPHI. “Dukungan moril dan kelembagaan yang pernah diberikan pada 1966 secara diam-diam ditarik kembali,” demikian tertulis dalam laporan riset PSHK.

Ketua Tim laporan Riset PSHK itu, Binziad Kadafi menyebut sejak saat itu bermunculan banyak organisasi advokat selain Peradin. Dimulai dari HPHI, selanjutnya disusul Forum Studi dan Komunikasi Advokat/Fosko Advokat, Bina Bantuan Hukum/BBH, Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum/Pusbadhi dan lain-lain dalam waktu berdekatan. “Tidak begitu jelas motivasi serta kebutuhan organisasi-organisasi tersebut,” kata peneliti yang biasa disapa Dafi itu dalam laporan riset PSHK.

Dalam perkembangannya, wibawa Peradin turun perlahan karena para anggotanya tidak bisa didisiplinkan berkomitmen pada Peradin. Puncaknya, Pemerintah berusaha melebur Peradin dengan organisasi-organisasi advokat yang ada. Ketua Mahkamah Agung Mudjono, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Menteri Kehakiman Ali Said mengusulkan peleburan itu pada kongres Peradin di Bandung pada tahun 1981.

Usul itu tentu saja untuk kepentingan politik mengontrol profesi advokat. Tugas rekayasa peleburan itu dilakukan oleh Ali Said dengan mendirikan Ikatan Advokat Indonesia/Ikadin pada 10 November 1985. Para anggota Peradin tidak menyerah begitu saja. Kompromi alot sampai pada kesimpulan Peradin tetap berdiri bersama dengan Ikadin. Ketua Umum Peradin Harjono Tjitrosoebono ditempatkan sebagai Ketua Umum Ikadin meski tidak secara demokratis.

Perlu dicatat bahwa Peradin pada dasarnya tidak pernah dibubarkan. Hanya saja, para anggotanya beramai-ramai pindah ke Ikadin. Pemerintah saat itu tidak berhasil memaksa Peradin dan organisasi-organisasi advokat yang ada untuk sepenuhnya melebur dalam Ikadin.

Bersamaan dengan itu, profesi pokrol dan pengacara praktik masih berlanjut di Indonesia. Pengacara praktik berbeda dengan pokrol. Mereka bisa dikatakan punya kompetensi dan gelar kesarjanaan hukum seperti advokat. Hanya saja wilayah kerjanya terbatas hanya di Pengadilan Tinggi yang memberi lisensi.

Kegagalan intervensi lewat Ikadin dilanjutkan dengan mempertajam konflik antara profesi advokat dengan pengacara praktik. Pemerintah memberikan izin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia/IPHI sebagai organisasi bagi pengacara praktik. IPHI berdiri di Surabaya dengan Abdul Azis Muhammad Bahlmar sebagai Ketua. Selama ini pengacara praktik tidak bisa bergabung dalam wadah organisasi advokat yang ada.

Tahun 1990 terjadi perpecahan Ikadin yang didukung Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Ikadin Cabang Jakarta yang dipimpin Gani Djemat dan Yan Apul menyempal setelah gagal mengambil alih kepemimpinan Ikadin. Mereka lalu mendeklarasikan Asosiasi Advokat Indonesia/AAI.

Di luar konflik Peradin, Ikadin, lalu AAI, para advokat dengan spesialiasi tertentu juga mendirikan organisasi terbatas. Misalnya pada tahun 1988 berdiri Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia/AKHI, lalu disusul Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal/HKHPM.

Konflik organisasi advokat Indonesia sempat menjadi perhatian komunitas internasional berkaitan dengan keanggotaan di International Bar Association/IBA. AAI sempat mendapat pengakuan keanggotaan oleh IBA untuk mewakili Indonesia, tapi dicabut untuk dikembalikan pada Ikadin. “Organisasi advokat tidak lagi menjadi wadah kolektif profesi untuk melaksanakan fungsi profesionalnya, namun justru lebih banyak berperan sebagai perkumpulan belaka,” demikian kesimpulan laporan riset PSHK.

Kesimpulan itu diperkuat fakta bahwa tidak ada kode etik profesi yang berlaku sama untuk semua advokat, apalagi pengawasannya. Baru tahun 1995 ada kesepakatan kode etik bersama bagi anggota Ikadin, AAI, dan IPHI di bawah naungan Forum Komunikasi Advokat Indonesia/FKAI. Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Ikadin menarik diri dari FKAI lalu kembali mengacu kode etik Ikadin untuk anggotanya. Sebabnya karena Ikadin ingin diakui sebagai wadah tunggal pemersatu alih-alih FKAI.

Perlu diketahui, kode etik profesi digunakan organisasi advokat untuk keperluan ujian masuk bagi calon anggotanya. Hal itu karena baik ujian profesi advokat maupun pengacara praktik masih sepenuhnya diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Bisa dimengerti mengapa keterikatan advokat pada organisasi advokat tidak kuat karena kontrol ujian profesi ada di tangan Mahkamah Agung.

UU Advokat dan Konflik Berkelanjutan

UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat berhasil mendirikan Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi dengan menghidupkan kembali visi wadah tunggal organisasi advokat. UU Advokat menjadi undang-undang pertama yang mengatur profesi advokat secara khusus. Namun, polemik organisasi advokat kembali terjadi sejak tahun-tahun awal Peradi berdiri. Hanya empat tahun sejak Peradi lahir pada Desember 2004, Kongres Advokat Indonesia/KAI dideklarasikan pada Mei 2008.

Polanya kembali berulang. Keberadaan Peradi tidak berhasil membuat organisasi advokat yang membentuknya bubar. Pada saat yang sama, ketidakpuasan pada Peradi melahirkan organisasi advokat tandingan. Lebih lanjut, baik Peradi maupun KAI juga terpecah jadi beberapa kubu kepengurusan yang mengklaim nama yang sama.

Kini, Peradi terbagi dalam tiga kubu yang mengklaim sah menyandang nama Peradi. Di sisi lain ada tiga kubu pula yang mengklaim sah menyandang nama KAI. Padahal kehadiran Peradi awalnya menjadi tonggak baru sistem rekrutmen advokat yang diatur sendiri oleh organisasi advokat.

UU Advokat sebenarnya mendesain Peradi sebagai satu-satunya yang berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi dan ujian profesi. Hanya ada satu Kode Etik Advokat Indonesia yang ditegakkan Peradi hingga sanksi pemecatan profesi. Artinya, keputusan perekrutan dan pemecatan sepenuhnya ada di tangan Peradi.

Namun, UU Advokat masih mewajibkan calon advokat bersumpah sebelum menjalankan profesinya. Mandat pengambilan sumpah diserahkan pada sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Tanpa sumpah ini, pengangkatan status advokat oleh organisasi advokat tidak ada artinya.

Konflik perpecahan Peradi serta kemunculan KAI dan berbagai organisasi advokat lain masih terkendali sampai tahun 2015. Sampai saat 2015 itu hanya calon advokat dari Peradi yang diterima Mahkamah Agung untuk diambil sumpah profesi advokat.

Babak baru konflik dimulai saat Peradi akhirnya pecah menjadi tiga kubu kepengurusan yang sama-sama mengaku sah. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali tampak tidak mau ambil pusing. Ia menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali kala itu mungkin enggan jika Pengadilan terus direpotkan soal polemik perpecahan organisasi advokat. Pengadilan turut terseret konflik karena bertugas mengambil sumpah profesi advokat.

Isi Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 membuat Peradi bukan lagi pemegang hak tunggal mengajukan pengambilan sumpah advokat oleh Pengadilan Tinggi. Tentu saja ini berdampak pada klaim Peradi sebagai wadah tunggal profesi advokat.

Sejak tahun 2015, semua organisasi yang menyatakan diri sebagai organisasi advokat manapun diterima oleh Mahkamah Agung untuk mengajukan pengambilan sumpah advokat. Tidak hanya Peradi yang pecah tiga kubu, KAI yang pecah tiga kubu, bahkan AAI yang kini pecah tiga kubu, serta Ikadin yang kini pecah dua kubu pun diterima dengan tangan terbuka oleh Mahkamah Agung.

Entah sampai kapan tradisi konflik ini berkelanjutan. Saat ini tampaknya fungsi organisasi advokat untuk mengembangkan profesionalitas advokat diambil alih kantor-kantor hukum. Padahal laporan riset PSHK dua dekade silam sudah menegaskan, “Organisasi Advokat harusnya bekerja tidak semata-mata untuk kepentingan anggotanya dan hukum. Ia juga bekerja untuk kepentingan publik secara langsung”.

Hukumonline.com

Akhirnya, advokat yang andal kini sepenuhnya hasil gemblengan kantor-kantor hukum andal. Tidak peduli apa latar belakang organisasi advokat yang mengangkatnya, kredibilitas kantornya yang penting. Toh, para pengurus organisasi advokat terlalu sibuk meramaikan suasana dari kongres ke kongres. Memantau Hukumonline Top 100 Indonesian Law Firms - ajang pemeringkatan kantor hukum Indonesia - terlihat lebih menjanjikan alih-alih memantau dinamika konflik organisasi advokat. Mungkin.

Tags:

Berita Terkait