Kinerja Legislasi Rendah, Perlu Ada Evaluasi Dari DPR dan Pemerintah
Berita

Kinerja Legislasi Rendah, Perlu Ada Evaluasi Dari DPR dan Pemerintah

Selama 2005, DPR baru berhasil membahas 14 RUU. Dari 14 RUU tersebut hanya 12 yang sudah disahkan menjadi UU, sementara dua RUU lainnya masih dalam pembahasan.

CR-2
Bacaan 2 Menit
Kinerja Legislasi Rendah, Perlu Ada Evaluasi Dari DPR dan Pemerintah
Hukumonline

 

Jadi siasatnya seperti itu, ditata lebih rapi, sehingga kita harap dapat mencapai hasil yang maksimal, kata Soekarno.

 

Daftar UU yang berhasil dibahas pada masa persidangan 2005

No

RUU

 

Pembahasan

Komisi/Menteri

Keterangan

 

 

Tk. I

Tk. II

 

 

1

Sistem Keolahragaan Nasional (Prolegnas 2005-2009)

sudah

sudah

X- Pemuda&Olahraga

disetujui bersama pada 6/09

2

Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik

sudah

sudah

I-Luar Negeri

disetujui bersama pada 30/09

3

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

sudah

sudah

I-Luar Negeri

disetujui bersama pada 30/09

4

Penetapan Perpu No.2/2005 tentang Badan Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD  dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara

sudah

sudah

III-Dalam Negeri

disetujui bersama pada 27/09

5

Penetapan Perpu No.3/2005 tentang Perubahan atas UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

sudah

sudah

III-Dalam Negeri

disetujui bersama pada 20/09

6

Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di Maluku Utara

sudah

sudah

 

disetujui bersama pada 20/09

7

Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di Banten

sudah

sudah

 

disetujui bersama pada 20/09

8

Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di Bangka Belitung

sudah

sudah

 

disetujui bersama pada 20/09

9

Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di Gorontalo

sudah

sudah

 

disetujui bersama pada 20/09

10

Perubahan ke II atas UU No. 36 tahun 2004 tentang APBN 2005

sudah

sudah

XI-Depkeu

disetujui bersama pada 27/09

11

RUU Pelaksanaan Pemilihan Umum

sudah

belum

II-Depdagri

-

12

Energi

sudah

belum

VIII-ESDM

-

13

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006

sudah

sudah

XI-Depkeu

Disetujui bersama pada 16/08

14

Guru dan Dosen

sudah

sudah

X-Depdiknas

Disetujui bersama pada 6/12

Sumber: Laporan Rapat Paripurna DPR

 

Dimintai pendapatnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti menyatakan bahwa untuk bisa mempercepat turunnya Supres adalah urusan Pemerintah sendiri melalui Setneg. Mengenai permintaan Baleg agar Pemerintah mempercepat turunnya Surpres agar pembahasan RUU bisa lebih cepat, Bivitri justru punya pandangan lain. Ia menilai dengan rendahnya kinerja legislasi, perlu ada evaluasi di Pemerintah dan di DPR.

 

Menurut saya, tidak fair jika DPR hanya menyalahkan pemerintah. Pemerintah juga (memang)  harus ada evaluasi, kenapa Surpres begitu lama keluar. Tapi saya curiga, andil pemerintah yang membuat surpres lama itu tidak terlalu signifikan. Kalau saya berpendapat, di DPR yang banyak kelemahan, tapi dia lempar bola ke Pemerintah, tandas Bivitri.

 

 

Ia juga mempertanyakan mengenai efektifitas penjadwalan dari Badan Musyawarah DPR dan sikap DPR yang cenderung mendahulukan fungsi pengawasan ketimbang pembahasan RUU. Ia menyebutkan bahwa beberapa instansi penegak hukum bisa dipanggil sebulan sekali hanya untuk mengecek beberapa kasus yang berkaitan dengan kepentingan DPR.

 

Seharusnya yang banyak ditanyakan itu soal kebijakan, jadi tidak boleh tanya bagaimana kasus Ginanjar. Selain itu, tingkat kehadiran dan pembahasan dalam pansus itu efisien atau tidak, tegas Bivitri.

 

Bivitri melihat secara umum persoalan lainnya ada pada manajemen rapat mengingat kerap terjadi satu orang harus rapat pada waktu yang bersamaan di dua tempat. Ini disebabkan sebagian anggota Baleg juga adalah anggota Komisi III dan sering terjadi jadwal rapat yang berbarengan. Belum lagi, tambahnya, jadwal rapat yang terlalu sering berubah sehingga membingungkan anggota dewan.

 

Sistem yang benar itu penjadwalan benar dan tidak berubah. Bagaimana tiap anggota bisa bekerja secara maksimum, tidak ada dobel di Pansus atau Baleg. Sistem informasi internalnya juga harus ditingkatkan. Jadi seminggu sebelum rapat atau paling tidak dua hari sebelum rapat bahan dibagikan dan dipelajari, jadi saat rapat efektif. Tapi di DPR ini belum ada, papar Bivitri.

 

Masalah dana

Mengenai masalah dana yang sering disebut-sebut sebagai faktor penghambat pembahasan RUU, Soekarno juga membenarkannya. Menurut UUD 1945, lanjut ia, kewenangan untuk menentukan UU ada di DPR tetapi tidak didukung oleh sarana prasarana termasuk dana yang berada di tangan Pemerintah.

 

Jadi bisa saja terjadi, dana tidak ada sehingga pembahasan RUU mandek. Bukan berarti ada politicking dari Pemerintah tapi memang mungkin betul-betul tidak ada dana, kata Soekarno.

 

Menurut Soekarno, jika dilihat dari rata-rata, pembahasan satu RUU dapat memakan dana sekitar Rp1,5 miliar. Bahkan, lanjut ia, bisa mencapai Rp3 miliar. Soekarno menambahkan bahwa dana ini tergantung pada substansi UU. Jika bentuk RUU adalah revisi kitab UU seperti KUHAP dan KUHP maka pembahasan bisa mencapai lebih dari tiga tahun. Pasalnya, pembahasan tidak gampang dan bisa lebih dari satu masa persidangan.

 

Kalau sekarang revisi KUHAP dan KUHP baru masuk, mungkin 2009 baru selesai. Padahal sampai sekarang itu belum diprogramkan untuk masuk tahun 2006 ini. Jadi sangat tergantung substansi UU.

 

Namun, imbuh Soekarno, kalau hanya revisi UU biasa, dana tidak perlu sampai sebesar itu. Sementara untuk RUU baru perlu proses dari awal, karena DPR perlu melakukan survey, menyusun naskah akademik, termasuk studi banding di dalam negeri dan luar negeri, tergantung substansi RUU. Kami usahakan ke luar negeri itu sangat terbatas, janjinya.

 

Soekarno menyatakan banyak hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan UU karena Baleg perlu melakukan sosialisasi pada masyarakat--untuk mendapatkan masukan baik dari LSM, masyarakat maupun perguruan tinggi di daerah. Hal ini perlu dilakukan karena saat ini ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk memeriksa dan melakukan judicial review atas laporan masyarakat.

 

Jadi, jangan sampai hasil kerja DPR yang sudah melibatkan banyak orang dianggap tidak sah atau dicabut oleh MK, kata Soekarno.

 

Soekarno mengungkapkan bahwa menurut info dari Menhukham dalam kurun waktu 2,5 tahun ini sudah ada sekitar 47 UU yang masuk di MK untuk judicial review. Hal ini, lanjut ia, menjadi perhatian DPR untuk tidak seenaknya membuat UU. Seharusnya memang dari dulu tidak seenaknya, tapi pada praktiknya masih banyak yang masih kurang betul jika dikaitkan dengan UUD 1945, kata Soekarno.

 

Selain itu, kata Soekarno, Baleg kini berupaya menambah tenaga ahli. Saat ini Baleg sedang melakukan rekrutmen untuk mendapatkan minimal 15 tenaga ahli yang diharapkan mengerti, pandai dan berpengalaman dalam menyusun UU. Kita sudah umumkan di perguruan tinggi dan kita tutup pada 31 Desember nanti, kecuali kalau kita masih membutuhkan kita akan membuka lagi. Jadi pada 2006 kita harapkan sudah ada tenaga ahli, kata Soekarno.

 

Sekarang Baleg sudah memiliki empat tenaga ahli, namun Soekarno menilai jumlah ini masih kurang. Ia mengakui adanya staf ahli di Komisi dan Fraksi, namun ia melihat staf ahli tersebut kurang profesional. Sementara P3I dinilai Soekarno hanya sebagai peneliti dan bukan sebagai legal drafter, padahal yang dicari Baleg adalah untuk legal drafter.

 

Sementara Bivitri mengakui pihaknya belum melakukan penelitian berapa dana yang dibutuhkan untuk pembahasan satu RUU. Ia menyatakan bahwa PSHK memang memiliki rencana mengadakan penelitian tersebut. Meskipun demikian, lanjut ia, karena belum ada studi satu RUU perlu dana berapa, maka tidak adil jika dana dibilang terlalu kecil atau besar.

 

Kecil itu relatif, kadang mereka mengeluhkan kalau tidak ada dana untuk konsinyering. Tapi kalau dilihat, mereka kan rapat di gedung DPR yang sudah banyak ruang rapat. Seharusnya tidak keluar banyak dana. Paling untuk panggil ahli atau mengadakan RDPU. Pasti ada akibat ke dana, karena saya dengar dana di Pemerintah jauh lebih besar daripada dana di DPR. Tapi seharusnya tidak bisa bilang dana itu kecil atau besar sebelum ada perhitungan yang transparan tentang berapa yang dibutuhkan, papar Bivitri.

 

Mengenai rencana Baleg merekrut 15 tenaga ahli, Bivitri menilai seharusnya Baleg tidak harus punya legal drafter sendiri karena DPR sudah memiliki 21 orang legal drafter di bawah deputi perundangan yang dulu disebut AC1. Selain itu, lanjut ia, DPR memiliki 43 orang staf P3I yang semuanya sudah pernah mengikuti pelatihan legal drafting.

 

PSHK pernah riset tentang struktur di DPR. Seharusnya staf fungsional itu ditempatkan di satu kotak sehingga semua orang bisa pakai, Baleg bisa, Komisi bisa. Jadi kalau mau tambah tenaga ahli cukup tambah di kotak itu. Kalau khusus untuk Baleg, saya tidak melihat signifikansi, jelas Bivitri.

 

Bivitri menyatakan dirinya tidak berani memprediksi hasil DPR pada 2006 mendatang. Meskipun kini DPR memiliki Baleg yang lebih besar kewenangannya, lanjut ia, tapi kalau DPR tidak evaluasi untuk identifikasi masalah dan mencari solusi maka hasilnya tidak akan jauh dari tahun ini.

DPR menargetkan 55 RUU yang ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) akan selesai dibahas tahun ini. Kenyataannya, hanya 12 yang diselesaikan pembahasannya. Ketua DPR Agung Laksono pekan lalu menyatakan akan menggenjot pembahasan RUU di tahun 2006. Sebanyak 77 RUU ditargetkan selesai dibahas tahun depan.

 

Menanggapi pernyataan Agung, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR FX Soekarno menilai kelancaran tugas Baleg juga tergantung pada Pemerintah. Sebab, penyusunan Prolegnas merupakan kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Soekarno menjelaskan bahwa DPR dapat mulai membahas RUU setelah turun Surat Presiden (Surpres), dan berdasarkan UU yang ada Presiden dapat mengeluarkan Supres paling lambat 60 hari.

 

Seandainya penerbitan Surpres tidak sampai 60 hari, mungkin tidak akan memakan waktu yang terlalu banyak. Tapi kalau tiap RUU Presiden keluarkan Surpres dalam waktu 60 hari, ya bisa dihitung itu, kata FX Soekarno kepada hukumonline, Senin (26/12).

 

Soekarno menjelaskan bahwa RUU yang menjadi prioritas Prolegnas 2006 akan tergantung pada kesiapan seluruh pihak, termasuk dari Presiden yang menerbitkan Surpres. Menurut ia, Baleg selalu memberikan dorongan pada Pemerintah untuk mempercepat penerbitan Surpres. Selain mengingatkan melalui pimpinan DPR, Baleg juga melakukan kontak langsung dengan Menhukham, selaku mitra kerja Baleg dari Pemerintah.

 

Soekarno menambahkan, saat ini ada 17 Pansus pembahasan RUU yang sudah dibentuk, dan masing-masing beranggotakan 50 orang. Dengan demikian, ada anggota DPR yang merangkap tugas di dua atau tiga pansus. Soekarno sendiri mengaku menjadi anggota di tiga pansus. Untuk mengatasi hal ini, maka seluruh pansus melakukan koordinasi jadwal agar waktu tidak bertabrakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: