Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun
LIPUTAN KHUSUS

Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun

Ada dua model yang sedang disiapkan untuk ditawarkan agar penanganan korupsi di daerah semakin baik.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
“Kalau berpusat di Jakarta kan tidak menghemat biaya buat mereka yang di daerah,” ujar pria yang ikut membidani kelahiran UU No.49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor ini. Lebih lanjut, Aziz memang tidak menutup mata bahwa ada beberapa hakim tipikor di daerah yang terjerat kasus korupsi. Namun, menurutnya, hal itu bisa diatasi bila pengawasan oleh MA berjalan dengan baik. “Itu kan tinggal bagaimana pengawasan di bawah MA, dan bagaimana administrasi kepaniteraan menuju sistem teknologi supaya masyarakat mudah mengetahui perkembangan perkara,” tukasnya. “Soal masih adanya hakim yang korup, kalau permainan oknum tidak bisa kita katakan seluruh institusi. Semua pasti ada celah, makanya harus diawasi. Tinggal bagaimana pengawasan internal dan berkelanjutan menggunakan sistem IT,” pungkasnya. Nilai Perkara dan Level TerdakwaKepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan LeIP Arsil mengatakan sejak awal pembentukan pengadilan tipikor di daerah memang sudah diprediksi bakal menimbulkan masalah. Ia mengatakan dengan semakin banyaknya pengadilan tipikor yang dibentuk, maka akan semakin banyak hakim yang dibutuhkan, terutama hakim ad hoc tipikor. Mencari hakim ad hoc yang benar-benar berkualitas, lanjutnya, bukan hal yang mudah. “Itu satu persoalan yang harus dicari jalan keluarnya,” ujarnya.Sedangkan masalah lain adalah semakin banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan tipikor. Bahkan, perkara-perkara bernilai kecil pun disidangkan di pengadilan tipikor yang berada di ibukota provinsi. Biaya persidangan menjadi mahal karena harus mendatangkan saksi yang berada di luar kota. Ada saksi yang membutuhkan waktu sekitar 10 jam hingga seharian penuh menuju ke pengadilan tipikor. “Nilai perkaranya kadang tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan jaksa untuk mengusut perkara itu,” ujarnya. Oleh sebab itu, Arsil mengusulkan dua model yang bisa menjawab persoalan ini. Pertama, adalah mengklasifikasi perkara berdasarkan nilai perkara tersebut. Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi cukup difokuskan untuk mengadili perkara yang nilai kerugiannya besar. Untuk perkara korupsi yang nilai kerugiannya kecil, seharusnya cukup diserahkan ke Pengadilan Negeri yang ada di Kabupaten/Kota. “Yang menuntut tetap bisa KPK atau Kejaksaan,” ujarnya. Kedua, klasifikasi perkara korupsi berdasarkan level terdakwa. Misalnya, bila level terdakwa adalah pejabat tinggi di daerah itu, maka bisa diadili di pengadilan tipikor di provinsi. Sedangkan, untuk terdakwa dari pegawai level rendah, cukup diadili oleh pengadilan negeri di Kabupaten/Kota. “KPK juga nanti bisa memilih, bila perkaranya kecil atau level pejabat rendah, mereka cukup lakukan supervisi terhadap kejaksaan,” ujarnya. Arsil mengatakan saat ini sedang mengkaji berapa nilai perkara yang dianggap kecil dan level pejabat apa yang bisa diadili di Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi. “Nilai dan level pejabatnya belum kami tentukan, masih dikaji. Mungkin kalau menurut saya, korupsi dengan nilai perkara Rp 50 – 100 juta bisa dianggap sebagai korupsi yang nilainya kecil, tapi ini tetap harus dihitung dengan cost jaksa dalam mengusut perkara itu,” katanya. 
Tags: