Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun
LIPUTAN KHUSUS

Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun

Ada dua model yang sedang disiapkan untuk ditawarkan agar penanganan korupsi di daerah semakin baik.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi: BAS
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi: BAS
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan berusia tujuh tahun pada akhir Oktober ini. Melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk membentuk pengadilan tipikor di setiap ibukota provinsi. Memang, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah-daerah itu dilakukan bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun hingga saat ini sudah 33 provinsi memiliki Pengadilan Tipikor.  
Sejarah terbentuknya pengadilan tipikor daerah tidak lepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Di putusan ini, MK menegaskan bahwa perkara korupsi tidak boleh lagi diadili di dua jenis pengadilan, yakni pengadilan tipikor dan pengadilan umum. MK memberi deadline tiga tahun kepada DPR dan Pemerintah payung hukum bagi pengadilan tipikor untuk mengadili seluruh perkara kasus korupsi. 
Putusan MK ini justru direspon oleh DPR dan Pemerintah dengan membentuk pengadilan tipikor di daerah. Pembentukan pengadilan tipikor di daerah pun sempat menimbulkan polemik. 
Mahfud MD yang saat itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengkritik pembentukan Pengadilan Tipikor Daerah yang tidak diamanatkan oleh putusan MK. (Baca Juga: Ketua MK: Bubarkan Pengadilan Tipikor Daerah). 
Sejumlah masalah memang muncul pasca dibentuknya pengadilan tipikor daerah. Bila awalnya pengadilan tipikor di Jakarta selalu “berhasil” menghukum terdakwa korupsi, di daerah ada banyak terdakwa yang divonis bebas. Lebih parah lagi, tak sedikit hakim Pengadilan Tipikor daerah yang justru terjerat kasus korupsi dagang perkara. (Baca Juga: OTT Hakim Tipikor Bengkulu, KPK Amankan 4 Orang).
Lalu, bagaimana wajah Pengadilan Tipikor daerah setelah tujuh tahun diamanatkan untuk dibentuk berdasarkan UU No.49 Tahun 2009? 
Sejumlah aktivis yang dikoordinir oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) sepanjang Agustus 2015 hingga Juni 2016 di pengadilan tipikor lima kota besar. Memang belum ada kesimpulan akhir dari pemantauan itu, tetapi dari penuturan para pemantau berbagai masalah yang ditemukan di peradilan umum (pengadilan negeri) juga kini ditemukan di pengadilan tipikor. 
“Jadwal sidang tidak tepat waktu sesuai agenda yang ditentukan pada sidang sebelumnya,” ujar Mohammad Soleh yang melakukan pemantauan di Pengadilan Tipikor Surabaya, pertengahan September lalu. 
Tak hanya itu. Kualitas jaksa dan hakim yang menangani perkara juga kerap jadi sorotan. Muhdasin yang melakukan pemantauan di Pengadilan Tipikor Makassar punya cerita tersendiri. “Kadang pernah kami dapatkan Jaksa Penuntut Umum hadirkan ahli, tapi ahli yang dihadirkan itu tidak mengusai isu yang disidangkan. Sehingga haim sempat marah kenapa jaksa menghadirkan ahli ini, tapi parahnya lagi tetap diperiksa saja. Itu yang jadi masalah. Akhirnya itu berpengaruh pada putusan hakim tentunya,” ujar Muhdasin.
Terpisah, Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin justru menilai bahwa pembentukan pengadilan tipikor di daerah sudah cukup efektif. Hanya saja, lanjutnya, memang perlu bagaimana dilakukan secara terus menerus peningkatan kualitas secara internal. “Pengadilan tipikor di daerah adalah kepanjangan tangan dalam berbagai penegakan hukum,” ujarnya. 
“Kalau berpusat di Jakarta kan tidak menghemat biaya buat mereka yang di daerah,” ujar pria yang ikut membidani kelahiran UU No.49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor ini. 
Lebih lanjut, Aziz memang tidak menutup mata bahwa ada beberapa hakim tipikor di daerah yang terjerat kasus korupsi. Namun, menurutnya, hal itu bisa diatasi bila pengawasan oleh MA berjalan dengan baik. “Itu kan tinggal bagaimana pengawasan di bawah MA, dan bagaimana administrasi kepaniteraan menuju sistem teknologi supaya masyarakat mudah mengetahui perkembangan perkara,” tukasnya. 
“Soal masih adanya hakim yang korup, kalau permainan oknum tidak bisa kita katakan seluruh institusi. Semua pasti ada celah, makanya harus diawasi. Tinggal bagaimana pengawasan internal dan berkelanjutan menggunakan sistem IT,” pungkasnya. 
Nilai Perkara dan Level Terdakwa
Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan LeIP Arsil mengatakan sejak awal pembentukan pengadilan tipikor di daerah memang sudah diprediksi bakal menimbulkan masalah. Ia mengatakan dengan semakin banyaknya pengadilan tipikor yang dibentuk, maka akan semakin banyak hakim yang dibutuhkan, terutama hakim ad hoc tipikor. Mencari hakim ad hoc yang benar-benar berkualitas, lanjutnya, bukan hal yang mudah. 
“Itu satu persoalan yang harus dicari jalan keluarnya,” ujarnya.
Sedangkan masalah lain adalah semakin banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan tipikor. Bahkan, perkara-perkara bernilai kecil pun disidangkan di pengadilan tipikor yang berada di ibukota provinsi. Biaya persidangan menjadi mahal karena harus mendatangkan saksi yang berada di luar kota. Ada saksi yang membutuhkan waktu sekitar 10 jam hingga seharian penuh menuju ke pengadilan tipikor. “Nilai perkaranya kadang tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan jaksa untuk mengusut perkara itu,” ujarnya. 
Oleh sebab itu, Arsil mengusulkan dua model yang bisa menjawab persoalan ini. Pertama, adalah mengklasifikasi perkara berdasarkan nilai perkara tersebut. Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi cukup difokuskan untuk mengadili perkara yang nilai kerugiannya besar. Untuk perkara korupsi yang nilai kerugiannya kecil, seharusnya cukup diserahkan ke Pengadilan Negeri yang ada di Kabupaten/Kota. “Yang menuntut tetap bisa KPK atau Kejaksaan,” ujarnya. 
Kedua, klasifikasi perkara korupsi berdasarkan level terdakwa. Misalnya, bila level terdakwa adalah pejabat tinggi di daerah itu, maka bisa diadili di pengadilan tipikor di provinsi. Sedangkan, untuk terdakwa dari pegawai level rendah, cukup diadili oleh pengadilan negeri di Kabupaten/Kota. “KPK juga nanti bisa memilih, bila perkaranya kecil atau level pejabat rendah, mereka cukup lakukan supervisi terhadap kejaksaan,” ujarnya. 
Arsil mengatakan saat ini sedang mengkaji berapa nilai perkara yang dianggap kecil dan level pejabat apa yang bisa diadili di Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi. “Nilai dan level pejabatnya belum kami tentukan, masih dikaji. Mungkin kalau menurut saya, korupsi dengan nilai perkara Rp 50 – 100 juta bisa dianggap sebagai korupsi yang nilainya kecil, tapi ini tetap harus dihitung dengan cost jaksa dalam mengusut perkara itu,” katanya. 
Tags: