Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun
LIPUTAN KHUSUS

Kilas Balik Pengadilan Tipikor Daerah, Setetes Asa Setelah Tujuh Tahun

Ada dua model yang sedang disiapkan untuk ditawarkan agar penanganan korupsi di daerah semakin baik.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
“Itu satu persoalan yang harus dicari jalan keluarnya,” ujarnya.
Sedangkan masalah lain adalah semakin banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan tipikor. Bahkan, perkara-perkara bernilai kecil pun disidangkan di pengadilan tipikor yang berada di ibukota provinsi. Biaya persidangan menjadi mahal karena harus mendatangkan saksi yang berada di luar kota. Ada saksi yang membutuhkan waktu sekitar 10 jam hingga seharian penuh menuju ke pengadilan tipikor. “Nilai perkaranya kadang tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan jaksa untuk mengusut perkara itu,” ujarnya. 
Oleh sebab itu, Arsil mengusulkan dua model yang bisa menjawab persoalan ini. Pertama, adalah mengklasifikasi perkara berdasarkan nilai perkara tersebut. Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi cukup difokuskan untuk mengadili perkara yang nilai kerugiannya besar. Untuk perkara korupsi yang nilai kerugiannya kecil, seharusnya cukup diserahkan ke Pengadilan Negeri yang ada di Kabupaten/Kota. “Yang menuntut tetap bisa KPK atau Kejaksaan,” ujarnya. 
Kedua, klasifikasi perkara korupsi berdasarkan level terdakwa. Misalnya, bila level terdakwa adalah pejabat tinggi di daerah itu, maka bisa diadili di pengadilan tipikor di provinsi. Sedangkan, untuk terdakwa dari pegawai level rendah, cukup diadili oleh pengadilan negeri di Kabupaten/Kota. “KPK juga nanti bisa memilih, bila perkaranya kecil atau level pejabat rendah, mereka cukup lakukan supervisi terhadap kejaksaan,” ujarnya. 
Arsil mengatakan saat ini sedang mengkaji berapa nilai perkara yang dianggap kecil dan level pejabat apa yang bisa diadili di Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi. “Nilai dan level pejabatnya belum kami tentukan, masih dikaji. Mungkin kalau menurut saya, korupsi dengan nilai perkara Rp 50 – 100 juta bisa dianggap sebagai korupsi yang nilainya kecil, tapi ini tetap harus dihitung dengan cost jaksa dalam mengusut perkara itu,” katanya. 
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan berusia tujuh tahun pada akhir Oktober ini. Melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk membentuk pengadilan tipikor di setiap ibukota provinsi. Memang, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah-daerah itu dilakukan bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun hingga saat ini sudah 33 provinsi memiliki Pengadilan Tipikor.  Sejarah terbentuknya pengadilan tipikor daerah tidak lepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Di putusan ini, MK menegaskan bahwa perkara korupsi tidak boleh lagi diadili di dua jenis pengadilan, yakni pengadilan tipikor dan pengadilan umum. MK memberi deadline tiga tahun kepada DPR dan Pemerintah payung hukum bagi pengadilan tipikor untuk mengadili seluruh perkara kasus korupsi. Putusan MK ini justru direspon oleh DPR dan Pemerintah dengan membentuk pengadilan tipikor di daerah. Pembentukan pengadilan tipikor di daerah pun sempat menimbulkan polemik. 
Halaman Selanjutnya:
Tags: