Ketua MK Arief Hidayat: Tidak Pernah DPR atau Partai Menitip-Nitip
Jelang Pilkada Serentak 2018

Ketua MK Arief Hidayat: Tidak Pernah DPR atau Partai Menitip-Nitip

Ketua MK Arief Hidayat pastikan MK netral. Untuk menjaga integritas, Arief mengaku sesama hakim MK sudah saling mengingatkan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Selain kasus-kasus tersebut, tentu masyarakat masih mengingat skandal besar yang menimpa mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Terpidana penjara seumur hidup ini terbukti menerima suap terkait sejumlah perkara sengketa Pilkada dan melakukan pencucian uang. Kini, Akil tengah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin.

 

Baru-baru ini, Ketua MK Arief Hidayat juga menjadi sorotan. Arief didesak mundur dari kursi Ketua MK karena dianggap telah dua kali melakukan pelanggaran etik. Desakan mundur itu tidak hanya datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat, seperti PP Muhammadiyah, tetapi juga dari 54 Guru Besar dan pegawai MK.

 

Terlepas dari problematika yang mendera Ketua MK, lembaga pengawal konstitusi itu tengah mengevaluasi persiapan penanganan Pilkada serentak 2018. Bahkan, pertengahan Februari 2018, MK akan menggelar pertemuan dengan para penyelenggaran video conference (sarana penunjang penanganan sengketa Pilkada) yang berada di 43 perguruan tinggi di Indonesia.

 

MK berharap agar para peserta Pilkada konsisten menerapkan aturan Pilkada. Salah satunya mengenai syarat pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHUP) kepala daerah yang telah diatur dalam Pasal 157 dan 158 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

 

Pasal 158 UU Pilkada

(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan

d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.

(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota.

 

MK menegaskan, kini lembaganya sangat ketat menerapkan aturan Pasal 158 UU Pilkada. Hal ini sudah dibuktikan dalam dalam penanganan sengketa Pilkada tahun 2017 lalu. Dimana, hanya 10 permohonan sengketa Pilkada yang dianggap memenuhi syarat, yang mana tiga diantaranya diperintahkan MK untuk melakukan pemungutan suara ulang.

 

Selain melakukan sejumlah persiapan, MK juga memastikan lembaganya selalu menjaga netralitas dalam penanganan sengketa Pilkada. Untuk mengetahui sejauh mana persiapan MK menjelang Pilkada serentak 2018, hukumonline mewawancarai Ketua MK Arief Hidayat beberapa waktu lalu. Berikut kutipan wawancaranya:

Tags:

Berita Terkait