Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?
Kolom

Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?

Selama beberapa waktu terakhir ini, perhatian kita banyak ditujukan kepada perkara PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI), yang oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat secara kontroversial telah dinyatakan pailit. Pengaruh putusan ini ternyata sangat besar. Putusan pailit yang dijatuhkan hakim ini tidak hanya mempengaruhi para pihak dalam perkara saja, tetapi juga pemerintah (karena mempengaruhi ekonomi dan keuangan negara).

Bacaan 2 Menit

Gugatan juga dapat diajukan terhadap hakim yang mengingkari sumpah jabatan (untuk menegakkan hukum dan kebenaran) dan menodai kehormatan lembaga peradilan dan profesinya. Setiap hakim mempunyai kewajiban untuk menegakkan integritas dan kehormatan profesinya dan lembaga peradilan. Karenanya, ia harus menghindari terjadinya hal-hal yang tercela, baik selama menjalankan tugasnya di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Tanggung jawab negara

Negara kita adalah welfare state, yang karena itu tujuan negara kita adalah untuk melayani masyarakat (to serve the public). Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara bertugas "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (bestuurzorg atau public service)". Negara karenanya bertanggung jawab terhadap warganya sehubungan dengan kesalahan atau kelalaiannya dalam penyelenggaraan negara.

Di negara kita, dan di manapun juga, setiap orang berhak memperoleh keadilan dan diperlakukan dengan adil. Karena itulah, salah satu tugas (service) yang harus dilakukan oleh negara adalah menyelenggarakan peradilan yang baik (good administration of justice) guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 [lihat Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970].

Tujuan utama penyelenggaraan peradilan adalah untuk melayani hak masyarakat untuk memperoleh keadilan (right to justice). Dan karena itu, negara wajib menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan dapat dipercaya (clean and reliable). Dalam hal ini, negara harus mengupayakan timbul dan terpeliharanya kepercayaan masyarakat bahwa lembaga peradilan yang diadakan oleh negara benar-benar mengabdi kepada keadilan, tidak berat sebelah, tidak korup, dan tidak dipengaruhi oleh apa atau siapapun.

Sesuai dengan Konstitusi kita, negara "mendelegasikan" penyelenggaraan peradilan kepada hakim [lihat Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986]. Karena penyelenggaraan peradilan hanya merupakan "pendelegasian" kekuasaan, maka negara bertanggung-jawab atas risiko yang terjadi (consequential risks) sehubungan dengan penyelenggaraan peradilan yang dilakukan oleh hakim. Jadi, apabila hakim tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik, negara dapat pula dituntut pertanggungjawabannya.

Kekebalan bukan tameng

Perlu diingat bahwa tujuan dari kebebasan dan kekebalan hakim bukanlah untuk melindungi hakim-hakim tertentu. Akan tetapi, untuk menjamin rule of law dan keadilan. Di samping itu, untuk melindungi profesi hakim secara keseluruhan dan integritas lembaga peradilan kita. Karena itu, kebebasan dan kekebalan hakim tidak dapat selamanya menjadi "tameng" bagi hakim untuk berlindung dari tuntutan hukum terhadapnya. Kekebalan hakim hanya dapat digunakan apabila hakim menjalankan tugasnya dalam koridor hukum yang benar dan dengan itikad baik.

Adalah fakta yang tidak dapat ditutup-tutupi bahwa praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di pengadilan sudah semakin parah. Karena itu, apabila hakim-hakim yang "bermasalah" tidak segera diperiksa dan dituntut pertanggungjawabannya, maka hal ini akan merusak dan mencemari kehormatan profesi hakim secara keseluruhan dan kewibawaan lembaga peradilan. Bahkan, nama baik bangsa kita pun ikut tercemar.

Tags: