Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?
Kolom

Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?

Selama beberapa waktu terakhir ini, perhatian kita banyak ditujukan kepada perkara PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI), yang oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat secara kontroversial telah dinyatakan pailit. Pengaruh putusan ini ternyata sangat besar. Putusan pailit yang dijatuhkan hakim ini tidak hanya mempengaruhi para pihak dalam perkara saja, tetapi juga pemerintah (karena mempengaruhi ekonomi dan keuangan negara).

Bacaan 2 Menit

Salah satu prinsip yang fundamental dalam sistem hukum kita adalah hukum tidak dapat diganggu gugat [lihat Pasal 26 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970]. Konstitusi kita menjamin bahwa setiap orang adalah sama di muka hukum (equal before the law), tanpa ada perkecualiannya [lihat Pasal 27 (1) UUD 1945]. Jadi, no man is above the law.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 pun ditegaskan bahwa "pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang". Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang sama-sekali kebal hukum. Apabila seorang jenderal atau presiden saja dapat digugat, mengapa hakim tidak dapat digugat?

Jadi, kekebalan hakim harus disingkirkan apabila hakim melakukan kelalaian atau kesalahan yang berat (gross negligence or grave misconduct). Hakim yang melanggar ketentuan atau prinsip hukum yang sifatnya memaksa-misalnya hak pihak yang berperkara untuk didengar keterangan/pembelaannya, untuk mengajukan alat bukti, atau untuk menolak hakim (hak ingkar)- dapat dituntut pertanggung-jawabannya.

Kedua, kekebalan hanya dapat diberikan apabila hakim melakukan tugasnya sesuai dengan kapasitas atau kewenangan yang ada padanya. Hakim yang melakukan tindakan di luar kapasitas atau kewenangan yang dimilikinya (ultra-vires beyond his/her legal jurisdiction) tidak sepantasnya diberikan kekebalan.

Jadi, ketika seorang hakim tahu bahwa ia tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara (misalnya, karena perkara itu menurut hukum harus diperiksa oleh arbitrase), akan tetapi ia tidak mengindahkan hal tersebut, maka hakim itu tidak dapat menggunakan kekebalannya untuk berlindung. Tanpa kewenangan untuk mengadili perkara, berarti hakim itu tidak menjalankan tugas peradilannya.

Selain itu, hakim juga tidak kebal untuk tindakannya yang tidak "secara murni, merupakan perbuatan Hakim dalam melakukan tugas peradilannya". Jadi, tindakan hakim yang murni administratif (non-judicial) dapat pula dituntut pertanggungjawabannya.

Selanjutnya, kekebalan hanya dapat diberikan apabila hakim melakukan tugasnya dengan itikad baik. Hakim yang menjatuhkan putusan dengan itikad yang tidak baik, misalnya untuk melindungi pihak-pihak yang bersalah dan seharusnya dihukum, sudah sepatutnya dituntut pertanggungjawabannya. Hakim yang culas dan korup tidak pantas untuk dilindungi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: