Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?
Kolom

Kesalahan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?

Selama beberapa waktu terakhir ini, perhatian kita banyak ditujukan kepada perkara PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI), yang oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat secara kontroversial telah dinyatakan pailit. Pengaruh putusan ini ternyata sangat besar. Putusan pailit yang dijatuhkan hakim ini tidak hanya mempengaruhi para pihak dalam perkara saja, tetapi juga pemerintah (karena mempengaruhi ekonomi dan keuangan negara).

Bacaan 2 Menit

Prof. Oemar Seno Adji, S.H., sewaktu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, yang menyatakan bahwa: "pada asas dan umumnya kesalahan Hakim dalam menjalankan tugas dalam bidang peradilan seperti dinyatakan oleh Pasal 1 dan 2 Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 tidaklah merupakan alasan untuk mengajukan gugatan perdata terhadapnya, sehingga Pasal 1365 B.W. [yang merupakan dasar gugatan perdata] tidak dapat diterapkan untuk kesalahan-kesalahan hakim dalam menjalankan tugas peradilannya& . Demikian pula, Negara tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap kesalahan dalam perbuatan Hakim, yang secara murni, merupakan perbuatan Hakim dalam melakukan tugas peradilannya termasuk juga segala tindakan-tindakan Hakim (rechterlijke handelingen). Kesemuanya itu bergandengan pula dengan azas kebebasan Hakim". Selanjutnya, ia kemudian meminta kepada pengadilan-pengadilan di Indonesia untuk menolak gugatan perdata terhadap hakim.

Memang dapat dipahami bahwa gugatan terhadap hakim dapat berdampak buruk terhadap kebebasan hakim dan penyelesaian suatu perkara. Gugatan terhadap hakim dapat mengakibatkan perkara yang telah diputus menjadi mentah kembali atau setidak-tidaknya harus ditunda pelaksanaannya. Gugatan terhadap hakim juga dapat mengurangi rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga peradilan.

Selain itu, gugatan terhadap hakim juga berpotensi menimbulkan ketakutan atau kekuatiran bagi para hakim, mengingat hakim senantiasa menghadapi risiko digugat oleh pihak yang tidak puas terhadap tindakannya. Akan tetapi, apakah hal itu berarti bahwa kita harus memberlakukan kebebasan dan kekebalan hakim secara mutlak?

Kebebasan dan kekebalan hakim tidak mutlak

Hukum memang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan hakim untuk mengajukan upaya-upaya hukum yang tersedia seperti banding, kasasi, peninjauan kembali, atau perlawanan (verzet). Akan tetapi dalam banyak perkara, terbukti bahwa upaya-upaya hukum tersebut tidak mampu memperbaiki atau memulihkan kesalahan hakim dan kerugian yang diderita oleh masyarakat (khususnya pencari keadilan).

Putusan bebas terhadap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto (dalam kasus tukar guling aset Bulog dan PT Goro Batara Sakti) yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung di tingkat peninjauan kembali pada tahun lalu, misalnya, masih membekas dalam ingatan kita, betapa kita tidak berdaya menghadapi putusan hakim yang bertentangan dengan rasa keadilan kita.

Dalam suatu negara hukum, kebebasan dan kekebalan hakim harus ada. Meski demikian, kebebasan dan kekebalan hakim tidak boleh diberlakukan secara mutlak (absolute) tanpa ada pembatasannya. Karena kalau hal ini dibiarkan, yang akan terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan kehakiman (abuse of judicial power). Kebebasan dan kekebalan yang diberikan kepada hakim harus dapat dipertanggungjawabkan, dan karenanya hakim tidak boleh berbuat sewenang-wenang dengan kebebasan dan kekebalan yang dimilikinya.

Pertama-tama, kebebasan dan kekebalan hakim dibatasi oleh hukum. Penjelasan Umum UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Dalam suatu negara hukum, setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Hakim sebagai pejabat negara dalam melakukan tugasnya karenanya harus tunduk dan takluk pada hukum. Itulah sebabnya, sebelum memangku jabatannya, setiap hakim harus bersumpah bahwa ia akan menegakkan hukum dan keadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: