Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi
Kolom

Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi

Perdebatan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan terus bergulir karena sampai saat ini RUU Penyiaran belum ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh DPR. Salah satu perdebatan di dalam RUU Penyiaran, yaitu perlu tidaknya larangan kepemilikan silang (cross ownership) media penyiaran di Indonesia. Wacana ini penting untuk terus diperdebatkan mengingat akan dilakukan kompromi antara DPR serta praktisi dan pemilik media penyiaran untuk mengakhiri perseteruan pendapat dalam waktu dekat ini.

Bacaan 2 Menit

Untuk itulah, warga masyarakat, praktisi media, serta pemerintah mempunyai kewajiban bersama untuk melindungi kepentingan publik dari dampak kegiatan media penyiaran. Dengan melihat model kepemilikan yang media yang ada, masyarakat mempunyai pilihan untuk tidak terus-menerus dihegemoni oleh televisi model conglomerate commercial.

Monopoli informasi

Perdebatan masalah cross ownership media massa di RUU Penyiaran, telah menjadi salah bukti bagaimana norma atau kaidah yang ada dalam masyarakat sepertinya dilupakan oleh sekelompok pemilik modal atas nama demokrasi, kebebasan pers, dan kemajuan teknologi informasi. Pemikiran ini mungkin disebabkan para pemilik modal dan praktisi di media penyiaran kurang mengetahui bahwa sebuah ketentuan hukum akan efektif bila ketentuan itu sesuai dengan dinamika yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Sebuah pendapat menarik datang dari Dedy Mulyana, Dosen Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran tentang perlu tidaknya larangan cross ownership di media massa. Menurut Dedy, pengaturan cross ownership masuk akal ditinjau dari aspek ekonomi. Melarang cross ownership media massa oleh satu kekuatan modal, diperlukan bagi masyarakat Indonesia yang disparitas ekonomi dan tingkat pendidikannya sangat tinggi. Pelarangan cross ownership media massa justru akan melindungi masyarakat dan kebebasan pers dari sisi politik, ekonomi, dan etika.

Meskipun pers mengusung fungsi ideal untuk pendidikan masyarakat dan demokratisasi informasi, harus diakui bahwa pers sebagai industri membawa anasir kapitalisme. Di balik kepentingan kebebasan pers, jelas ada unsur kepentingan bisnis yang persaingannya harus diatur. Tanpa pengaturan yang luwes sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat, kebebasan cross ownership berpotensi menjurus pada monopoli informasi. Hal ini jelas bertentangan dengan wacana kebebasan pers yang susah payah dikembangkan.

Sistem bisnis media yang demokratis penting diciptakan agar media massa mampu membatasi dirinya dari kekuatan-kekuatan yang mungkin bisa membahayakan kelangsungan demokrasi itu sendiri. Bukankah tidak mungkin, suatu saat kekuatan tersebut terkooptasi atau berkolaborasi dengan kekuatan politik tertentu dalam menjalankan agenda politik tersendiri. Bila hal ini terjadi, tentunya akan membahayakan proses demokrasi yang sedang kita impikan bersama.

Memang tidak mudah berjuang untuk melahirkan media yang demokratis. Kita pasti berhadapan dengan pihak-pihak yang penuh kekuasaan, kekayaan, dan keahlian khusus dalam mengelabui pertempuran ideologis ini. Kita semua secara bersama harus berusaha mencegah berkembangnya kapitalisme di media penyiaran. Hal ini penting karena media penyiaran mempunyai fungsi sosial dalam membangun national character dan national culture.

 

Muhammad Sofyan dan Dian Kartika Sari adalah staf peneliti pada subbidang Hukum Media dan Telekomunikasi di Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Tags: