Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi
Kolom

Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi

Perdebatan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan terus bergulir karena sampai saat ini RUU Penyiaran belum ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh DPR. Salah satu perdebatan di dalam RUU Penyiaran, yaitu perlu tidaknya larangan kepemilikan silang (cross ownership) media penyiaran di Indonesia. Wacana ini penting untuk terus diperdebatkan mengingat akan dilakukan kompromi antara DPR serta praktisi dan pemilik media penyiaran untuk mengakhiri perseteruan pendapat dalam waktu dekat ini.

Bacaan 2 Menit

Kebebasan pers yang dahulu diimpikan memang telah membawa pengaruh positif dalam membangun proses demokrasi di negeri ini. Namun di samping itu, kita juga tidak menutup mata adanya dampak negatif yang ditimbulkannya. Persaingan  pasar bebas media telah berakibat sebagian pemilik dan praktisi media menjual profesionalitas, kode etik, dan tanggung jawab moral jurnalisme. Semua ini dilakukan demi meraih keuntungan untuk bertahan terbit di tengah pasar yang amat ketat.

Tampaknya, penolakan keras larangan cross ownership di RUU Penyiaran oleh praktisi dan pemilik media penyiaran bukanlah semata-mata keinginan untuk mendapatkan kebebasan berusaha seiring dengan makna kebebasan pers. Namun, juga ada alasan lain, yaitu bagaimana pemilik media penyiaran dengan kekuatan modalnya melalui free trade memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari bisnis ini. 

Kedua, alasan perkembangan teknologi informasi. Kita tidak dapat membantah bahwa revolusi teknologi informasi yang terjadi di belahan bumi utara telah mengubah pola kehidupan masyarakat dunia. Batas-batas teritorial antara negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid, kini tak berlaku lagi. Kelahiran internet telah membalikkan segalanya. Yang jauh jadi dekat,  yang khayal jadi nyata,  dan yang  paper-based menjadi paperless. 

Namun bagi Indonesia, benarkah internet telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat kita? Setidak-tidaknya data tentang tingkat adopsi internet dari International Data Corporation (IDC, bisa menjawab pertanyaan tersebut. Menurut IDC, tingkat adopsi Internet di Indonesia baru mencapai sekitar 0,11%. Di beberapa negara lain, seperti Korea Selatan, tingkat adopsi telah mencapai 36,7%, di Taiwan telah mencapai 33,4%, malah di bumi bagian utara, tingkat penggunaan internet telah mencapai lebih dari 60 %.

Dari data ini, kita bisa melihat bahwa  teknologi informasi sebagai suatu dinamika masyarakat Indonesia masih jauh dari yang kita harapkan. Karena itu, alasan pencabutan larangan cross ownership yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi oleh pemilik dan praktisi media penyiaran, menjadi sebuah alasan yang kurang kuat untuk dipertahankan.

Ketiga, alasan proses demokratisasi. Seperti sudah diungkapkan di atas, bahwa kebebasan pers merupakan indikator dari sebuah sistem demokrasi di suatu negara. Namun, makna kebebasan dalam demokrasi bukan berarti setiap orang bebas bertindak semaunya. Semakin demokratis sebuah negara, biasanya akan semakin banyak regulasi yang dihasilkan. Regulasi ini bertujuan agar kebebasan yang dilakukan seseorang tidak melanggar kebebasan orang lain.

Tentunya, sistem demokratis bukanlah sebuah sistem yang selalu konstan. Anthony Giddens dalam buku populernya The Third Way telah mengingatkan kita, bahwa krisis demokrasi dapat muncul bila demokrasi tidak lagi cukup demokratis. Direktur London School of Economics and Political Science ini menyatakan bahwa untuk mengembalikan alur demokrasi kembali adalah dengan cara mendemokratisasikan demokrasi itu sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: