Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi
Kolom

Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi

Perdebatan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan terus bergulir karena sampai saat ini RUU Penyiaran belum ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh DPR. Salah satu perdebatan di dalam RUU Penyiaran, yaitu perlu tidaknya larangan kepemilikan silang (cross ownership) media penyiaran di Indonesia. Wacana ini penting untuk terus diperdebatkan mengingat akan dilakukan kompromi antara DPR serta praktisi dan pemilik media penyiaran untuk mengakhiri perseteruan pendapat dalam waktu dekat ini.

Bacaan 2 Menit

 (1) Pemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta yang mengarah pada pemusatan di satu orang atau di satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran, maupun antar wilayah siaran, dilarang.

(2) Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.

Penetapan ketentuan tentang larangan cross ownership dalam RUU Penyiaran oleh DPR mendapat kecaman keras oleh berbagai kelompok masyarakat.  Kecaman ini terutama datang dari praktisi dan pemilik media penyiaran. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi, di antaranya: Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI).

Organisasi ini secara bersama-sama menolak penetapan ketentuan itu. Yang menarik, penolakan keras terhadap larangan cross ownership di media penyiaran dilakukan atas nama kebebasan pers, revolusi teknologi informasi yang melanda masyarakat dunia, dan wacana demokrasi yang sedang kita bangun.

Penolakan cross ownership

Secara sekilas, tentu alasan-alasan yang digunakan untuk menolak pelarangan cross ownership ini sangat rasional. Kita memang tidak bisa membantah bahwa kebebasan pers berhasil kita rebut dari kezaliman penguasa.  Kita juga tidak bisa memejamkan mata atas perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat atau proses pembangunan demokrasi yang tidak henti-hentinya kita upayakan.

Namun sebuah keraguan pun muncul, apakah hanya ketiga alasan ini saja yang membuat praktisi dan pemilik media penyiaran begitu kerasnya menolak larangan cross ownership? Alasan yang mungkin memunculkan kepentingan dari sikap penolakan pemilik media penyiaran.

Pertama, alasan kebebasan pers. Perjuangan melahirkan kebebasan pers merupakan jalan panjang dari hasil pengorbanan praktisi pers dan masyarakat  prodemokrasi. Banyak data telah menunjukkan ribuan pekerja pers harus kehilangan mata pencarian mereka akibat kebijakan redaksi yang bertentangan dengan alur kebijakan penguasa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: