Jalan Panjang Pemerintah Memenangkan Gugatan di Arbitrase Internasional
Utama

Jalan Panjang Pemerintah Memenangkan Gugatan di Arbitrase Internasional

Menyewa pengacara dalam dan luar negeri, dan mempersiapkan argumentasi yang kuat.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Respons awal ini merupakan salah satu fase yang cukup strategis untuk menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapai sengketa di forum arbitrase. Sebelum memutuskan menerima atau menolak mekanisme arbitrase di ICSID, Cahyo menjelaskan, tim hukum pemerintah saat itu memutuskan untuk terlebih dahulu mempersoalkan kewenangan ICSID dalam sengketa antara kedua belah pihak. Sebelum memasuki pokok perkara, tim hukum pemerintah ingin terlebih dahulu memastikan yurisdiksi ICSID dalam menangani sengketa Churchill dengan pemerintah Indonesia.

 

(Baca juga: Menkumham Minta ICSID Akhiri Gugatan Churchill)

 

Didi Dermawan, salah seorang pengacara Pemerintah Indonesia, menjelaskan pertanyaan mendasar terkait yurisdiksi adalah ada tidaknya kesepakatan dalam perjanjian kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa di forum arbitrase. Jika dengan Churchill Mining, perjanjiannya berupa Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia–United Kingdom, maka dengan Planet Mining kesepakatannya berupa BIT Indonesia–Australia.

 

Dalam sidang, Churchill menggunakan persetujuan antara BKPM dengan Churchill terkait jasa pertambangan. Didi menjelaskan kesepakatan terkait jasa pertambangan antara BKPM dan Churcill menurut rezim hukum pertambangan Indonesia tidak dapat disatukan dengan Kuasa Pertambangan yang ada di Indonesia. Jalur masuk perusahaan asing untuk pengelolaan batubara seperti yang dikerjakan oleh Churchill di Indonesia yang ideal adalah melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

 

Churchill masuk ke Indonesia melalui BKPM di bidang jasa usaha pertambangan. Masalahnya, pemerintah Indonesia merasa perseroan ini tidak pernah melakukan usaha bisnis di bidang jasa pertambangan. “Yang dia lakukan adalah beli-beli tambang, ngambil KP (Kuasa Pertambangan). Kan KP kan harus 100 persen lokal. Jadi dia pakai sistem nominee. Jadi masuknya saja sudah tidak benar penyelundupan hukum,” ujar Didi.

 

Menurut Didi, alasan pemerintah mempertanyakan yurisdiksi ICSID lebih karena adanya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Churchill untuk menguasai Kuasa Pertambangan melalui jalur jasa usaha pertambangan. Untuk itu tidak sepatutnya Churchill Mining memperoleh perlindungan berdasarkan persetujuan BIT Indonesia–UK.

 

Hukumonline.com

Didi Darmawan. Ilustrator: BAS

 

Penunjukan Arbiter

Perjuangan lain adalah pemilihan arbiter. Mengingat jumlah arbiter yang harus ganjil juga menjadi diskusi antara kedua belah pihak. Setelah itu masuk ke tahapan penunjukan arbiternya. “Masalah pemilihan arbiter itu adalah sesuatu yang strategis, tidak sekadar kita memilih tapi kan kita harus melihat latar belakang arbiter itu sendiri,” ungkap Cahyo.

 

Penunjukan arbiter yang sesuai dapat memudahkan proses selanjutnya. Latar belakang arbiter menurut Cahyo akan berdampak pada tingkat pemahamannya terhadap situasi para pihak yang tengah bersengketa. Jika arbiter berangkat dari latar belakang negara maju atau tidak. Begitupun dengan jejak rekam selama menjadi arbiter. Kecenderungan membela investor atau negara tempat investasi berlangsung juga menjadi beberapa poin pertimbangan dalam menentukan arbiter.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait