Implikasi UU PPSK terhadap Rahasia Bank
Kolom

Implikasi UU PPSK terhadap Rahasia Bank

Selain meningkatkan perlindungan data nasabah, ketentuan rahasia bank dalam UU PPSK ini mengakomodasi kepentingan yang lebih luas. Keberhasilannya bergantung pada pemahaman yang tepat, pengawasan yang ketat, dan pelaksanaan yang konsisten oleh semua pihak terkait. Jika berjalan dengan baik, peraturan ini akan meningkatkan kepercayaan nasabah.

Bacaan 7 Menit
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa

Undang-Undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) mengubah berbagai ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan, salah satunya mengenai rahasia bank. Kini, ada berbagai pengecualian baru atas rahasia bank. Sementara itu, yang dimaksud rahasia bank masih sama yaitu informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jika nasabah penyimpan adalah juga nasabah debitur atau peminjam, yang menjadi rahasia bank hanyalah informasinya sebagai nasabah penyimpan.

Konsep mengenai rahasia bank telah mengalami perjalanan panjang sejak diperkenalkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Dalam aturan tersebut, bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan langganannya dan hal lain yang harus dirahasiakan bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan.

Baca Juga:

Adapun tujuan diperkenalkannya rahasia bank dalam ketentuan ini untuk kepentingan bank sendiri. Tepatnya karena bank memerlukan kepercayaan dari masyarakat agar mau menyimpan uangnya di bank. Asumsinya adalah kepercayaan tersebut hanya timbul apabila ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan yang ada di bawah penguasaannya tidak akan disalahgunakan. Karenanya, ketentuan ini menegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Namun, apa yang dimaksud dengan rahasia bank itu sendiri dianggap tak perlu ditegaskan secara terperinci.

Selanjutnya, baik UU Pokok-Pokok Perbankan Tahun 1967 maupun UU Perbankan Tahun 1992 memberikan pengertian yang mirip. Kedua ketentuan ini juga menggunakan dasar pemikiran dan asumsi yang hampir sama dengan ketentuan sebelumnya yaitu bahwa kerahasiaan diperlukan agar masyarakat mau mempercayakan uangnya pada bank. Kepercayaan ini muncul jika ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan.

Dalam ketentuan ini, rahasia bank didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal lain dari nasabah bank, yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Dengan demikian, sama seperti ketentuan sebelumnya, keduanya masih mengandalkan “kelaziman” dalam dunia perbankan sebagai batasan rahasia bank. Dalam perkembangannya definisi ini dianggap terlalu luas, sehingga akses terhadap informasi yang dimiliki bank menjadi sangat tertutup.

Pasca terjadinya krisis perbankan di Indonesia definisi tersebut diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Ketentuan ini menjelaskan bahwa fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan perlu ditingkatkan, sehingga ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini sangat tertutup harus ditinjau ulang.

Tags:

Berita Terkait