Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian
Kolom

Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian

Indonesia seolah kembali ke era demokrasi terpimpin, dimana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat.

Bacaan 2 Menit

SE Kapolri No. 05/2015 ditambah beberapa kejadian baru-baru ini seperti penembakan terhadap mahasiswa demonstran hingga koma beberapa hari, kriminalisasi terhadap pengacara publik LBH dan buruh demonstran, pembubaran demonstrasi buruh yang penuh kekerasan, pembatasan lokasi, waktu dan cara penyampaian demonstrasi dan berbagai kejadian lain membuat kita seolah sedang memutar roda waktu dan sedang berada di orde baru atau orde lama di mana rakyat tidak memiliki kebebasan berbicara atau akan berhadapan dengan pembredelan atau terali besi.

Indonesia seolah kembali ke era nanny state atau demokrasi terpimpin, di mana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat. Indonesia era reformasi justru seperti novel 1984 tulisan George Orwell dengan tema “Big brother is watching you.

Tapi benarkah SE Kapolri No. 05/2015 adalah satu-satunya cara menangkal kisruh sosial akibat interaksi di medsos dan media lain seperti pers misalnya? Tentu saja tidak. Menangani hate speech oleh pers bisa dilakukan melalui laporan ke Dewan Pers, sementara bila hate speech dilakukan melalui media televisi, maka ditangani melalui Komisi Penyiaran Indonesia/KPI.

Demikian halnya dengan medsos. Pihak kepolisian dapat membuat akun resmi di dalam media sosial yang sedang diawasi kemudian memanfaatkan penyelesaian melalui saluran yang disediakan oleh media sosial setempat. Katakanlah dengan melaporkan tulisan bermasalah kepada pihak moderator atau administrator masing-masing media sosial. Melalui akun resmi ini, pihak kepolisian dapat berinteraksi dengan para pangguna medsos secara lebih lepas dan bebas termasuk dapat menasehati pelaku tulisan yang dianggap bermasalah dan mengingatkan yang bersangkutan perihal sanksi hukum yang dapat menjerat bila dia terus mengulangi perbuatannya di masa depan.

Selain usulan di atas, penulis rasa masih banyak lagi cara alternatif bersifat persuasif ketimbang represif yang dapat dilakukan ketimbang menerbitkan SE Kapolri No. 05/2015 bila bermaksud menurunkan potensi konflik sosial yang berasal dari hate speech. Namun demikian, terlepas apapun cara yang dipilih nantinya, untuk sekarang yang paling penting adalah pencabutan SE Kapolri No. 05/2015 yang diibaratkan oleh Andi Arief sebagai sebuah teror tanpa bom. Bila pemerintah ingin membungkam kritik, maka bungkamlah dengan kinerja dan bukan dengan melakukan teror tanpa bom terhadap masyarakat.

Artikel ini akan ditutup dengan kutipan dari Haji Agus Salim sebagaimana dimuat dalam Harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927.

Kekuasaan polisi mesti terang-terang batasnya dan polisi tukang tangkap janganlah merangkap pula jabatan tukang mencari keterangan.

* Penulis adalah advokat muda dan penulis amatir

Tags: