Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian
Kolom

Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian

Indonesia seolah kembali ke era demokrasi terpimpin, dimana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat.

Bacaan 2 Menit

Ada alasan mengapa penghinaan dan pencemaran nama baik menjadi delik aduan, yaitu karena pada dasarnya rakyat tidak bisa memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh kita ekspresikan secara oral dan/atau tulisan. Hal ini antara lain dijelaskan dengan sangat baik oleh Professor Kent Greenfield dari Boston College:

We cannot trust the government to make choices about content on our behalf, and thus prohibiting offensive speech will lead down to slippery slope to tyranny.

Lagipula sebuah pernyataan yang menurut seseorang adalah penghinaan belum tentu juga dianggap penghinaan oleh orang lain. Kendati demikian pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah pernyataan tertulis maupun lisan dari orang lain memilliki hak untuk membuat laporan ke polisi dan/atau mengajukan gugatan secara perdata. Jadi bila pihak yang menjadi sasaran penghinaan tidak membuat laporan ke polisi dan memilih main hakim sendiri, maka tidak ada satupun yang bisa dilakukan pihak kepolisian kecuali memproses tindakan main hakim sendiri itu karena pelaku memilih melanggar hukum untuk menanggapi penghinaan terhadap dirinya.

Dalam konteks kritik, pada dasarnya sebuah kritikan keras atau offensive speech yang dilakukan oleh masyarakat umum di medsos, pers maupun para demonstran terhadap para pemimpin negara inia bermaksud agar pemerintah atau pihak yang dituju akan mendengar dan memenuhi aspirasi kita. Lebih sering bila seseorang dikritik secara santun, maka kritikan itu hanya akan seperti masuk kuping kiri, keluar kuping kanan.

Norma hukum lain yang bertambah dengan SE Kapolri No. 06/2015 ini adalah penambahan prosedur menyelesaikan sengketa pers yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Hal ini karena SE Kapolri No. 06/2015 memasukan pers sebagai salah satu media yang menyebarkan hate speech. Berdasarkan UU Pers, maka penyelesaian setiap permasalahan yang lahir dari pemberitaan harus diupayakan terlebih dahulu melalui Dewan Pers. Bila Dewan Pers tidak bisa menyelesaikan, baru pihak yang dirugikan dapat membuat laporan ke polisi atau mengajukan gugatan secara perdata.

Oleh karena itu melalui SE Kapolri No. 06/2015, penyelesaian sengketa pers yang merupakan delik aduan justru bertambah dengan melewati atau by pass Dewan Pers, dengan melalui kepolisian tanpa atau dengan adanya permintaan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, tentu saja keberadaan SE Kapolri No. 06/2015 juga berarti semua wartawan, media cetak atau elektronik, tanpa terkecuali akan menjadi objek  yang diawasi dalam menjalankan tugas jurnalistik karena termasuk terduga pelaku hate speech.

Penulis juga tertarik membahas problema lain dalam tata cara penegakan SE Kapolri No. 06/2015 itu. Sebagaimana dinyatakan oleh Kapolri Pol. Jenderal Badrodin Haiti, pihak kepolisian akan mengawasi demonstrasi, medsos, pers, stasiun televisi dan lain sebagainya, dan bila menemukan indikasi hate speech maka kepolisian akan memanggil pelaku atau penanggung jawab untuk diberi peringatan agar tidak mengulangi perbuatannya kembali atau akan ditindak secara hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags: