Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian
Kolom

Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian

Indonesia seolah kembali ke era demokrasi terpimpin, dimana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat.

Bacaan 2 Menit

Sulit untuk tidak mengakui bahwa tata cara demikian adalah prosedur yang biasa dilakukan oleh pihak kopkamtib dan/atau aparat berwenang lain pada era orde baru dalam mengingatkan, masyarakat termasuk pers yang menurut anggapan pihak berwenang telah melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi meresahkan masyarakat atau mencemarkan nama baik pemerintah dan Presiden Soeharto.

Pada masa-masa itu, pihak masyarakat, misalnya media massa atau pihak yang akan mengadakan seminar sering kali menerima telepon dari pemerintah yang kemudian menghimbau agar pembahasan topik tertentu, yang menurut istilah pada era reformasi masuk kategori sebagai hate speech, tidak dilakukan. Tentu ada konsekuensi serius bila masyarakat tidak mengindahkan himbauan itu, pencabutan SIUPP, seperti yang dialami media nasional Tempo.

Kurang dari dua bulan, Tempo akhirnya benar-benar terbit kembali. ‘Teror’ itu tak membuat awak Tempo kapok melaporkan berita-berita yang mengkritik pemerintah. ‘Setelah itu kritik seperti biasa,’ kata Fikri.

Mendapat tekanan dari pemerintah sudah biasa didapat Tempo sejak terbit pertama kali pada 1971. Maklum, Tempo berdiri di masa pemerintah Soeharto yang terkenal represif. ‘Berkali-kali saya atau anggota direksi lainnya dipanggil oleh Departemen Penerangan untuk menerima teguran. Tegurannya biasa lewat telepon atau surat,’ kata Harjoko Trisnadi, mantan Direktur Tempo…

(Cerita Di Balik Dapur Tempo 40 Tahun (1971 – 2011), Penerbit KPG, halaman 53).

Penulis tidak pernah mengalami peristiwa teror dan penindasan terhadap hak berpendapat yang pernah dialami sebagian masyarakat Indonesia ketika orde lama dan orde baru. Penulis juga tidak pernah bermimpi atau berharap mengalami represi pada era reformasi ketika Indonesia katanya sudah menjadi negara demokratis yang menghormati hak-hak fundamental dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat tanpa diganggu oleh siapapun. Ini tentu menyedihkan sekali.

Rasanya kekhawatiran bahwa SE Kapolri No. 05/2015 akan melahirkan pasal-pasal karet anti penghinaan terhadap kepala negara dan melahirkan kembali kopkamtib/bakortanas cukup beralasan mengingat alasan yang diberikan Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mendukung SE tersebut untuk mendisiplinkan rakyat demi mencegah konflik sosial. Hal ini mirip atau memiliki semangat yang sama dengan alasan yang diberikan Presiden Soeharto ketika dirinya memutuskan untuk mengambil kebijakan represif. Ini bisa disimak dari pidato Presiden Soeharto tanggal 1 Juni 1994 ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama TNI-AL, Teluk Ratai menjelang Tempo dan majalah lain dibredel pemerintah:

Sekarang ada media massa yang setengah-setengah mengerti, tapi lantas menulis berita menurut pendapatnya sendiri yang nadanya seolah-olah memanfaatkan hal yang kurang jelas. Semua itu untuk mengeruhkan situasi, mengadu-domba satu sama lain, kemudian menimbulkan curiga-mencurigai. Mau tidak mau kalau terus-menerus, ini merupakan gangguan pada stabilitas politik dan nasional…Jadi, tidak mungkin kita biarkan [diganggu]…Harus kita betulkan mereka. Kalau mereka tidak bisa kita peringatkan, harus kita ambil tindakan karena akan mengancam, menganggu pembangunan yang menjadi tumpuan kita yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan…

Halaman Selanjutnya:
Tags: