Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian
Kolom

Habis Kopkamtib Lahirlah SE Ujaran Kebencian

Indonesia seolah kembali ke era demokrasi terpimpin, dimana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat.

Bacaan 2 Menit
Hendra Setiawan Boen. Foto: Koleksi Penulis
Hendra Setiawan Boen. Foto: Koleksi Penulis

Menanggapi polemik di masyarakat yang khawatir penerbitan Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) oleh Kapolri tanggal 8 Oktober 2015 (SE Kapolri No. 06/2015) akan menghidupkan kembali pasal-pasal penghinaan presiden yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengatakan bahwa surat edaran tersebut tidak saja melindungi kepala negara, tetapi juga mengakomodasi individu dan kelompok. Surat edaran itu ada tata caranya, tidak langsung ditindak. Tapi ada mediasi, tindakan preventif, dan kalau tidak ada solusi baru ke ranah hukum.

Tapi masalahnya, delik penghinaan terhadap kepala negara sudah dibatalkan oleh MK melalui Putusan No. 6/PUU-V/2007 dan Putusan No. 013-022/PUU-IV//2006. Sehingga dalam hal apapun menurut hukum Indonesia, seorang presiden tidak dapat merasa terhina oleh penilaian warga negara terhadap dirinya, sekeras apapun penilaian tersebut. Oleh karena itu kasus pertama yang ditangani oleh kepolisian terkait pertemuan antara presiden dengan suku anak dalam yang menurut analisa beberapa pengguna medsos adalah hasil rekayasa, sebenarnya adalah pelanggaran terhadap Konstitusi Indonesia. Toh, berdasarkan Pasal 35 hingga Pasal 36B UUD dan Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, sudah jelas bahwa presiden bukan simbol negara.

Apabila kita menilik kembali proses diskusi tentang masalah suku anak dalam itu, terlihat tak ada ucapan-ucapan yang dapat ditafsirkan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah atau penghinaan yang menyerang suku, agama, ras dan golongan dari presiden maupun suku anak dalam itu sendiri. Ini menjadi penting sebab satu-satunya pembatasan bagi hak berekspresi dan hak berpendapat berdasarkan Pasal 20 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi menjadi UU No. 2 Tahun 2005 (UU No. 2/2005) adalah kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan. Singkatnya, urusan penyampaian pendapat sepanjang tidak menyentuh elemen suku, agama, ras dan antar golongan, bukan urusan pemerintah maupun Kepolisian Republik Indonesia.

Dari pasal itu, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “ujaran kebencian” atau hate speech adalah tindakan menganjurkan kebencian atas kebangsaan, ras atau agama dengan tujuan menghasut orang lain melakukan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan. Dengan demikian mengkritik pemerintah, sekeras apapun isinya adalah bukan dan tidak pernah masuk definisi sebagai ujaran kebencian.

Di sinilah SE Kapolri No. 06/2015 menjadi bermasalah sebab di satu sisi surat edaran ini mengatur mengenai tindak pidana ujaran kebencian yang merupakan delik umum, tetapi di sisi lain beleid ini juga mengatur delik-delik aduan yang secara hukum bukanlah ujaran kebencian, dan lebih rancu lagi menjadikan tindak pidana penipuan yang terjadi dalam transaksi elektronik atau e-commerce sebagai ujaran kebencian. Hal ini nampak jelas dari dimasukannya Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ke dalam SE Kapolri No. 06/2015.

Kerancuan lain adalah sebagaimana diakui oleh Kapolri bahwa SE Kapolri No. 06/2015 bukanlah peraturan perundang-undangan dan hanya bersifat pedoman bagi seluruh anggota kepolisian di Indonesia. Tapi pada faktanya surat edaran itu memiliki akibat hukum dan menciptakan norma hukum baru, antara lain menjadikan kepolisian berwenang menyelidiki perkara delik aduan terlepas dari tidak ada aduan dari pihak yang dirugikan.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pihak terundang bisa mangkir dari panggilan mediasi oleh polisi? Atau justru ia dapat dijemput paksa bila terus mangkir padahal undangan itu bukanlah dimaksudkan untuk proses pro yustisia?

Ada alasan mengapa penghinaan dan pencemaran nama baik menjadi delik aduan, yaitu karena pada dasarnya rakyat tidak bisa memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh kita ekspresikan secara oral dan/atau tulisan. Hal ini antara lain dijelaskan dengan sangat baik oleh Professor Kent Greenfield dari Boston College:

We cannot trust the government to make choices about content on our behalf, and thus prohibiting offensive speech will lead down to slippery slope to tyranny.

Lagipula sebuah pernyataan yang menurut seseorang adalah penghinaan belum tentu juga dianggap penghinaan oleh orang lain. Kendati demikian pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah pernyataan tertulis maupun lisan dari orang lain memilliki hak untuk membuat laporan ke polisi dan/atau mengajukan gugatan secara perdata. Jadi bila pihak yang menjadi sasaran penghinaan tidak membuat laporan ke polisi dan memilih main hakim sendiri, maka tidak ada satupun yang bisa dilakukan pihak kepolisian kecuali memproses tindakan main hakim sendiri itu karena pelaku memilih melanggar hukum untuk menanggapi penghinaan terhadap dirinya.

Dalam konteks kritik, pada dasarnya sebuah kritikan keras atau offensive speech yang dilakukan oleh masyarakat umum di medsos, pers maupun para demonstran terhadap para pemimpin negara inia bermaksud agar pemerintah atau pihak yang dituju akan mendengar dan memenuhi aspirasi kita. Lebih sering bila seseorang dikritik secara santun, maka kritikan itu hanya akan seperti masuk kuping kiri, keluar kuping kanan.

Norma hukum lain yang bertambah dengan SE Kapolri No. 06/2015 ini adalah penambahan prosedur menyelesaikan sengketa pers yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Hal ini karena SE Kapolri No. 06/2015 memasukan pers sebagai salah satu media yang menyebarkan hate speech. Berdasarkan UU Pers, maka penyelesaian setiap permasalahan yang lahir dari pemberitaan harus diupayakan terlebih dahulu melalui Dewan Pers. Bila Dewan Pers tidak bisa menyelesaikan, baru pihak yang dirugikan dapat membuat laporan ke polisi atau mengajukan gugatan secara perdata.

Oleh karena itu melalui SE Kapolri No. 06/2015, penyelesaian sengketa pers yang merupakan delik aduan justru bertambah dengan melewati atau by pass Dewan Pers, dengan melalui kepolisian tanpa atau dengan adanya permintaan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, tentu saja keberadaan SE Kapolri No. 06/2015 juga berarti semua wartawan, media cetak atau elektronik, tanpa terkecuali akan menjadi objek  yang diawasi dalam menjalankan tugas jurnalistik karena termasuk terduga pelaku hate speech.

Penulis juga tertarik membahas problema lain dalam tata cara penegakan SE Kapolri No. 06/2015 itu. Sebagaimana dinyatakan oleh Kapolri Pol. Jenderal Badrodin Haiti, pihak kepolisian akan mengawasi demonstrasi, medsos, pers, stasiun televisi dan lain sebagainya, dan bila menemukan indikasi hate speech maka kepolisian akan memanggil pelaku atau penanggung jawab untuk diberi peringatan agar tidak mengulangi perbuatannya kembali atau akan ditindak secara hukum.

Sulit untuk tidak mengakui bahwa tata cara demikian adalah prosedur yang biasa dilakukan oleh pihak kopkamtib dan/atau aparat berwenang lain pada era orde baru dalam mengingatkan, masyarakat termasuk pers yang menurut anggapan pihak berwenang telah melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi meresahkan masyarakat atau mencemarkan nama baik pemerintah dan Presiden Soeharto.

Pada masa-masa itu, pihak masyarakat, misalnya media massa atau pihak yang akan mengadakan seminar sering kali menerima telepon dari pemerintah yang kemudian menghimbau agar pembahasan topik tertentu, yang menurut istilah pada era reformasi masuk kategori sebagai hate speech, tidak dilakukan. Tentu ada konsekuensi serius bila masyarakat tidak mengindahkan himbauan itu, pencabutan SIUPP, seperti yang dialami media nasional Tempo.

Kurang dari dua bulan, Tempo akhirnya benar-benar terbit kembali. ‘Teror’ itu tak membuat awak Tempo kapok melaporkan berita-berita yang mengkritik pemerintah. ‘Setelah itu kritik seperti biasa,’ kata Fikri.

Mendapat tekanan dari pemerintah sudah biasa didapat Tempo sejak terbit pertama kali pada 1971. Maklum, Tempo berdiri di masa pemerintah Soeharto yang terkenal represif. ‘Berkali-kali saya atau anggota direksi lainnya dipanggil oleh Departemen Penerangan untuk menerima teguran. Tegurannya biasa lewat telepon atau surat,’ kata Harjoko Trisnadi, mantan Direktur Tempo…

(Cerita Di Balik Dapur Tempo 40 Tahun (1971 – 2011), Penerbit KPG, halaman 53).

Penulis tidak pernah mengalami peristiwa teror dan penindasan terhadap hak berpendapat yang pernah dialami sebagian masyarakat Indonesia ketika orde lama dan orde baru. Penulis juga tidak pernah bermimpi atau berharap mengalami represi pada era reformasi ketika Indonesia katanya sudah menjadi negara demokratis yang menghormati hak-hak fundamental dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat tanpa diganggu oleh siapapun. Ini tentu menyedihkan sekali.

Rasanya kekhawatiran bahwa SE Kapolri No. 05/2015 akan melahirkan pasal-pasal karet anti penghinaan terhadap kepala negara dan melahirkan kembali kopkamtib/bakortanas cukup beralasan mengingat alasan yang diberikan Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mendukung SE tersebut untuk mendisiplinkan rakyat demi mencegah konflik sosial. Hal ini mirip atau memiliki semangat yang sama dengan alasan yang diberikan Presiden Soeharto ketika dirinya memutuskan untuk mengambil kebijakan represif. Ini bisa disimak dari pidato Presiden Soeharto tanggal 1 Juni 1994 ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama TNI-AL, Teluk Ratai menjelang Tempo dan majalah lain dibredel pemerintah:

Sekarang ada media massa yang setengah-setengah mengerti, tapi lantas menulis berita menurut pendapatnya sendiri yang nadanya seolah-olah memanfaatkan hal yang kurang jelas. Semua itu untuk mengeruhkan situasi, mengadu-domba satu sama lain, kemudian menimbulkan curiga-mencurigai. Mau tidak mau kalau terus-menerus, ini merupakan gangguan pada stabilitas politik dan nasional…Jadi, tidak mungkin kita biarkan [diganggu]…Harus kita betulkan mereka. Kalau mereka tidak bisa kita peringatkan, harus kita ambil tindakan karena akan mengancam, menganggu pembangunan yang menjadi tumpuan kita yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan…

SE Kapolri No. 05/2015 ditambah beberapa kejadian baru-baru ini seperti penembakan terhadap mahasiswa demonstran hingga koma beberapa hari, kriminalisasi terhadap pengacara publik LBH dan buruh demonstran, pembubaran demonstrasi buruh yang penuh kekerasan, pembatasan lokasi, waktu dan cara penyampaian demonstrasi dan berbagai kejadian lain membuat kita seolah sedang memutar roda waktu dan sedang berada di orde baru atau orde lama di mana rakyat tidak memiliki kebebasan berbicara atau akan berhadapan dengan pembredelan atau terali besi.

Indonesia seolah kembali ke era nanny state atau demokrasi terpimpin, di mana apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan diucapkan oleh rakyat Indonesia ditentukan oleh pemerintah dengan pelanggar akan mendapat hukuman ringan hingga berat. Indonesia era reformasi justru seperti novel 1984 tulisan George Orwell dengan tema “Big brother is watching you.

Tapi benarkah SE Kapolri No. 05/2015 adalah satu-satunya cara menangkal kisruh sosial akibat interaksi di medsos dan media lain seperti pers misalnya? Tentu saja tidak. Menangani hate speech oleh pers bisa dilakukan melalui laporan ke Dewan Pers, sementara bila hate speech dilakukan melalui media televisi, maka ditangani melalui Komisi Penyiaran Indonesia/KPI.

Demikian halnya dengan medsos. Pihak kepolisian dapat membuat akun resmi di dalam media sosial yang sedang diawasi kemudian memanfaatkan penyelesaian melalui saluran yang disediakan oleh media sosial setempat. Katakanlah dengan melaporkan tulisan bermasalah kepada pihak moderator atau administrator masing-masing media sosial. Melalui akun resmi ini, pihak kepolisian dapat berinteraksi dengan para pangguna medsos secara lebih lepas dan bebas termasuk dapat menasehati pelaku tulisan yang dianggap bermasalah dan mengingatkan yang bersangkutan perihal sanksi hukum yang dapat menjerat bila dia terus mengulangi perbuatannya di masa depan.

Selain usulan di atas, penulis rasa masih banyak lagi cara alternatif bersifat persuasif ketimbang represif yang dapat dilakukan ketimbang menerbitkan SE Kapolri No. 05/2015 bila bermaksud menurunkan potensi konflik sosial yang berasal dari hate speech. Namun demikian, terlepas apapun cara yang dipilih nantinya, untuk sekarang yang paling penting adalah pencabutan SE Kapolri No. 05/2015 yang diibaratkan oleh Andi Arief sebagai sebuah teror tanpa bom. Bila pemerintah ingin membungkam kritik, maka bungkamlah dengan kinerja dan bukan dengan melakukan teror tanpa bom terhadap masyarakat.

Artikel ini akan ditutup dengan kutipan dari Haji Agus Salim sebagaimana dimuat dalam Harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927.

Kekuasaan polisi mesti terang-terang batasnya dan polisi tukang tangkap janganlah merangkap pula jabatan tukang mencari keterangan.

* Penulis adalah advokat muda dan penulis amatir

Tags: