Error In Persona: Kejarlah Daku, Pegi Setiawan Ditangkap
Feature

Error In Persona: Kejarlah Daku, Pegi Setiawan Ditangkap

Rangkaian kasus salah tangkap ini mengungkap masih banyaknya permasalahan dalam prosedur pemeriksaan di kepolisian. Ganti rugi terhadap korban salah tangkap harus dioptimalkan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Kemudian, PP No.92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP mengatur ganti rugi sejumlah paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta. Jika korban salah tangkap mengalami luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp 300 juta. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan kematian maka paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Fadhil menyampaikan sejumlah catatan mengenai sulitnya memperoleh hak ganti rugi tersebut. Dalam proses praperadilan, hanya ada waktu sangat singkat selama tujuh hari kerja untuk membuktikan adanya salah tangkap yang dibebankan kepada tersangka. Hal ini semakin sulit karena proses praperadilan hanya menguji pada persoalan formal. “Kami menilai perlindungan (korban salah tangkap) tidak memadai,” paparnya.

Selain itu, dia menyampaikan sempitnya tafsir hakim terhadap pihak-pihak yang mendapat ganti rugi dalam Pasal 95 KUHAP. Pihak-pihak yang mendapat ganti rugi dalam kasus salah tangkap hanya ditujukan kepada korban yang sebelumnya sudah menyandang status tersangka, tedakwa, dan terpidana yang divonis bebas.

“Dalam praktik hakim menafsirkan Pasal 95 (KUHAP) sangat sempit. Beberapa putusan kami coba. Hakim menafsirkan hanya boleh yang sudah bebas saja sedangkan yang diputus lepas tidak bisa mengajukan,” ungkap Fadhil.

Lemahnya Pengawasan

Rentetan kasus salah tangkap yang terjadi ini karena lemahnya pengawasan. Fadhil menjelaskan sistem peradilan pidana harus ada kontrol berjenjang. Polisi sebagai operator paling bawah harus dimonitor kejaksaan, begitu pula hakim. Misalnya, prosedur penggeledahan dan penyitaan oleh polisi harus ada izin atau penetapan pengadilan setempat. Itu bukti kontrol pengadilan terhadap polisi. “Salah tangkap itu bermain-main dengan prosedur. Ada prosedur yang dilewati, dikangkangi atau dilanggar,” tegasnya.

Senada dengan Fadhil, Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez mengecam tindakan salah tangkap yang dilakukan Polisi seperti yang terjadi terhadap Pegi. “Polri dalam menetapkan tersangka orang harus berdasarkan bukti yang cukup, jangan karena dorongan dari masyarakat lalu asal main tangkap. Jangan lagi rakyat jadi kambing hitam polisi,” kata Gilang Dhielafararez seperti dikutip dari laman resmi DPR RI.

Menurut Gilang, kasus yang dialami Pegi merupakan kesalahan dalam penegakan hukum. Akibat dari salah tangkap ini dapat merusak kehidupan seseorang di masa yang akan datang. 

"Kasus salah tangkap terhadap Pegi Setiawan oleh Polda Jawa Barat adalah contoh nyata bagaimana kesalahan dalam penegakan hukum dapat merusak kehidupan seseorang. Kesalahan seperti ini tidak boleh terulang,” jelas Gilang.

Dia mengingatkan penegakan hukum harus dilakukan dengan teliti dan berdasarkan bukti yang kuat. Kasus Pegi ini menunjukkan adanya salah standard operating procedure (SOP) yang dilakukan polisi sehingga perlu dilakukan evaluasi. "Kami mendorong agar pihak kepolisian melakukan evaluasi SOP mereka untuk mencegah terjadinya salah tangkap di masa mendatang," kata Gilang.

Tags:

Berita Terkait