Error In Persona: Kejarlah Daku, Pegi Setiawan Ditangkap
Feature

Error In Persona: Kejarlah Daku, Pegi Setiawan Ditangkap

Rangkaian kasus salah tangkap ini mengungkap masih banyaknya permasalahan dalam prosedur pemeriksaan di kepolisian. Ganti rugi terhadap korban salah tangkap harus dioptimalkan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Langit gelap mulai menyelimuti langit Bandung saat Pegi Setiawan pulang dengan kondisi lelah setelah seharian bekerja sebagai kuli bangunan pada Selasa (21/5/2024). Dalam perjalanan pulang itu, di kawasan Jalan Kopo, langkah Pegi terhenti kala sekelompok aparat menangkapnya. Dalam keadaan bingung, tanpa mengetahui perbuatannya, Pegi dibawa ke rutan Polda Jawa Barat untuk ditahan malam itu.

Pegi diduga merupakan salah seorang dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian. Dia diduga menjadi dalang pembunuhan Muhamad Rizky Rudiana (Eky) dan Vina Dewi Arsita (Vina) di Cirebon pada tahun 2016 silam. Kasus pembunuhan ini kembali viral setelah kehadiran film layar lebar Vina: Sebelum 7 Hari yang menarik perhatian publik luas sehingga membuat kepolisian kembali mengusut kasus tersebut.

Baca Juga:

Saat konferensi pers pada Sabtu (27/5/2024), di hadapan para wartawan, Pegi berteriak lantang menyatakan bukan pelaku kejahatan tersebut. “Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati,” teriak Pegi.

Tentu saja tindakan Pegi tersebut semakin menarik perhatian publik terhadap kasus ini. Kepolisian bersikukuh Pegi merupakan dalang pembunuhan tersebut. Setelah 49 hari penahanan, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung dalam sidang praperadilan malah memutus Pegi harus dilepas karena tidak terbukti sebagai pelaku kejahatan tersebut.

Kisah salah tangkap tidak hanya dialami Pegi sendiri. Ini hanya salah satu dari rangkaian kasus salah tangkap di Indonesia. Berdasarkan penelusuran Hukumonline, terdapat beberapa kasus salah tangkap. Misalnya peristiwa yang dialami Subur dan Titin sepasang suami istri penjual kripik yang jadi korban salah tangkap di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Februari tahun 2024 ini.

Kemudian, kasus korban salah tangkap dua pengamen yang dipaksa mengaku melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Dua pengamen itu dibawa ke pengadilan dan dijatuhi pidana penjara selama tujuh tahun. Amar putusan ini tercantum dalam Putusan PN Jakarta Selatan No. 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel.

Selanjutnya putusan tersebut diajukan upaya hukum banding sampai jatuh Putusan PT Jakarta No. 50/PID/2014/PT.DKI. Amar putusannya menyatakan terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Keduanya dikeluarkan dari tahanan dan dipulihkan harkat dan martabatnya. Tidak berhenti sampai di situ, pihak penuntut umum melakukan upaya kasasi. Mahkamah Agung justru memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut melalui Putusan MA No. 1055 K/PID/2014.

Error in Persona dan Ganti Rugi

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan Nazwar menjelaskan salah tangkap dikategorikan sebagai error in persona. Hal ini karena terdapat kekeliruan mengenai seseorang yang diajukan sebagai tergugat atau perbuatan melawan hukum.

“Istilah yang sering dipakai itu ‘salah tangkap’. Tapi kalau karena sudah dihukum yang lebih tepat yaitu ‘salah hukum’,” papar Fadhil kepada Hukumonline, Selasa (6/8/2024).

Ketentuan mengenai salah tangkap terdapat dalam Pasal 95 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Fadhil menjelaskan pihak yang menderita salah tangkap tidak dipandang sebagai korban, tapi tetap menyandang status tersangka, terdakwa, dan terpidana. “Mereka enggak dianggap sebagai korban kalau mengacu KUHAP. Mereka diadili sebagai pelaku,” tegasnya.

Fadhil menguraikan salah tangkap terjadi karena prosedur kepolisian yang tidak sesuai dengan KUHAP. Dalam praktiknya, tidak hanya terjadi dalam masa penahanan, terdapat pula berbagai korban salah tangkap yang bahkan telah menjalani masa hukuman. “Ada prosedur tidak dijalankan dengaan benar, mereka ditangkap dengan cara yang salah bahkan disiksa,” jelas Fadhil.

Lebih lanjut, dia menyampaikan korban salah tangkap berhak mendapat ganti rugi dan rehabilitasi. Pasal 95 ayat (1) KUHAP menyebutkan "tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan."

Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP menyebut "kerugian karena tindakan lain yang dialami korban sendiri timbul karena pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan."

Kemudian, PP No.92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP mengatur ganti rugi sejumlah paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta. Jika korban salah tangkap mengalami luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp 300 juta. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan kematian maka paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Fadhil menyampaikan sejumlah catatan mengenai sulitnya memperoleh hak ganti rugi tersebut. Dalam proses praperadilan, hanya ada waktu sangat singkat selama tujuh hari kerja untuk membuktikan adanya salah tangkap yang dibebankan kepada tersangka. Hal ini semakin sulit karena proses praperadilan hanya menguji pada persoalan formal. “Kami menilai perlindungan (korban salah tangkap) tidak memadai,” paparnya.

Selain itu, dia menyampaikan sempitnya tafsir hakim terhadap pihak-pihak yang mendapat ganti rugi dalam Pasal 95 KUHAP. Pihak-pihak yang mendapat ganti rugi dalam kasus salah tangkap hanya ditujukan kepada korban yang sebelumnya sudah menyandang status tersangka, tedakwa, dan terpidana yang divonis bebas.

“Dalam praktik hakim menafsirkan Pasal 95 (KUHAP) sangat sempit. Beberapa putusan kami coba. Hakim menafsirkan hanya boleh yang sudah bebas saja sedangkan yang diputus lepas tidak bisa mengajukan,” ungkap Fadhil.

Lemahnya Pengawasan

Rentetan kasus salah tangkap yang terjadi ini karena lemahnya pengawasan. Fadhil menjelaskan sistem peradilan pidana harus ada kontrol berjenjang. Polisi sebagai operator paling bawah harus dimonitor kejaksaan, begitu pula hakim. Misalnya, prosedur penggeledahan dan penyitaan oleh polisi harus ada izin atau penetapan pengadilan setempat. Itu bukti kontrol pengadilan terhadap polisi. “Salah tangkap itu bermain-main dengan prosedur. Ada prosedur yang dilewati, dikangkangi atau dilanggar,” tegasnya.

Senada dengan Fadhil, Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez mengecam tindakan salah tangkap yang dilakukan Polisi seperti yang terjadi terhadap Pegi. “Polri dalam menetapkan tersangka orang harus berdasarkan bukti yang cukup, jangan karena dorongan dari masyarakat lalu asal main tangkap. Jangan lagi rakyat jadi kambing hitam polisi,” kata Gilang Dhielafararez seperti dikutip dari laman resmi DPR RI.

Menurut Gilang, kasus yang dialami Pegi merupakan kesalahan dalam penegakan hukum. Akibat dari salah tangkap ini dapat merusak kehidupan seseorang di masa yang akan datang. 

"Kasus salah tangkap terhadap Pegi Setiawan oleh Polda Jawa Barat adalah contoh nyata bagaimana kesalahan dalam penegakan hukum dapat merusak kehidupan seseorang. Kesalahan seperti ini tidak boleh terulang,” jelas Gilang.

Dia mengingatkan penegakan hukum harus dilakukan dengan teliti dan berdasarkan bukti yang kuat. Kasus Pegi ini menunjukkan adanya salah standard operating procedure (SOP) yang dilakukan polisi sehingga perlu dilakukan evaluasi. "Kami mendorong agar pihak kepolisian melakukan evaluasi SOP mereka untuk mencegah terjadinya salah tangkap di masa mendatang," kata Gilang.

Tags:

Berita Terkait