Enam Tahun Tanpa Keadilan untuk Munir
Berita

Enam Tahun Tanpa Keadilan untuk Munir

Sudahkah bangsa ini melalui ujian sejarahnya?

DNY
Bacaan 2 Menit
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim bersama Wakil ketua, Foto: Sgp
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim bersama Wakil ketua, Foto: Sgp

Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM dibunuh dalam perjalanannya untuk melanjutkan studi hukum di Universitas Utrecht, Belanda dengan racun Arsenik pada 7 September 2004. Setelah enam tahun kematian Munir masih tersisa ‘pekerjaan rumah’ bagi bangsa Indonesia untuk mengungkap dalang pembunuhannya.

 

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim beranggapan Presiden seharusnya mengambil tindakan terkait kasus Munir. “Presiden perlu memberi perhatian kepada Jaksa Agung dalam rangka Kasus Munir,” ungkapnya.

 

Ketika dalam kasus bebasnya mantan Deputi V BIN  Munchdi Purwopranjono, kasasi jaksa tidak diterima MA, Kejaksaan Agung bertekad ajukan Peninjauan Kembali (PK). Bagi Ifdhal, PK seharusnya segera direalisasikan.

 

Presiden harus memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mengajukan PK. Bersamaan dengan itu Presiden juga harus meminta Kapolri untuk mencari bukti-bukti baru.

 

Ifdhal mengungkapkan, masih banyak informasi mengenai pihak yang dianggap terkait dengan pembunuhan Munir yang belum didalami polisi. Seharusnya, polisi menelusuri lebih jauh, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Ia berharap, presiden bisa memberikan arahan yang jelas kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Karena, Kapolri dan Jaksa Agung masih berada di bawah kewenangan presiden.

 

Melalui siaran persnya, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyerukan investigasi baru.  “Walaupun dua orang sudah dihukum atas pembunuhannya, ada dugaan kuat mereka yang bertanggungjawab di kalangan atas belum dihukum,” demikian penggalan isi siaran pers.

 

Karenanya, LBH Jakarta menyerukan kepada Kapolri untuk memulai investigasi independen baru atas pembunuhan Munir. Investigasi independen harus menjamin semua pihak yang bertanggung jawab dalam pembunuhan Munir diadili.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, serta mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan telah menerima hukuman dari pengadilan.

 

Mangadili Pollycarpus pun bukan perkara sederhana. 20 Desember 2005 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Pollycarpus bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI melalui putusan No. 16/PID/2006/PT.DKI tertanggal 27 Maret 2006 menguatkan putusan PN Jakarta Pusat, dan kembali menyatakan Pollycarpus bersalah.

 

Publik sempat dikagetkan dengan putusan tingkat kasasi terhadap Pollycarpus. Mahkamah Agung yang diketuai Iskandar Kamil menyatakan Pollycarpus tidak bersalah dalam melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir.

 

Putusan MA No. 1185K/Pid/2006 tertanggal 3 Oktober 2006 itu, hanya menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Pollycarpus. Pasalnya, Pollycarpus hanya dianggap bersalah karena menggunakan surat palsu, bukan melakukan pembunuhan berencana.

 

Putusan MA yang menuai protes hingga eksaminasi itu, disertai dissenting opinion dari Anggota Majelis. Seperti yang dilansir berbagai media, Artidjo Alkostar berpendapat Pollycarpus justru pantas mendapat hukuman seumur hidup. Pasalnya, banyak sekali rangkaian kejanggalan tindakan Polycarpus yang mengindikasikan keterlibatannya.

 

Hingga akhirnya, Pollycarpus tak bisa lepas dari jerat hukum.  Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) menetapkan Pollycarpus sebagai pembunuh Munir. Majelis Hakim PK memutuskan Pollycarpus bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Munir dan menghukumnya dengan penjara selama 20 tahun.

 

Berbeda nasib dengan Pollycarpus, Indra mendapat hukuman yang jauh lebih ringan. Indra yang dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat karena telah memberikan kesempatan, sarana atau keterangan kepada Pollycarpus dalam pembunuhan Munir, hanya diganjar satu tahun penjara.

 

Hukuman yang diterima Pollycarpus dan Indra tak lantas menyelesaikan misteri di balik pembunuhan Munir. Dalang sesungguhnya belum diketahui. Terlebih setelah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Muchdi tidak bersalah.

 

Kasasi yang diajukan Jaksa pun tidak membuahkan hasil. Mahkamah Agung menyatakan kasasi jaksa tidak bisa diterima. Pasalnya, jaksa tidak bisa membuktikan bahwa putusan Muchdi bukan bebas murni. Meski demikian, Jaksa bertekad akan ajukan PK.

 

Terhadap putusan MA, Komnas HAM pernah melakukan eksaminasi. Hasilnya, Majelis yang terdiri dari sejumlah akademisi di bidang hukum ini menemukan bahwa proses pemeriksaan di pengadilan belum mengarah pada penyelenggaraan peradilan yang adil. Majelis Eksaminasi merekomendasikan dilakukannya terobosan hukum, termasuk dengan mengabaikan asas nebis in idem.

 

Selain Pollycarpus, Indra, dan Muchdi, entah berapa nama lagi yang belum tersentuh. Enam tahun, jelas bukan waktu yang singkat untuk meembongkar suatu tindak pidana pembunuhan. Terlebih, Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyatakan komitmennya untuk membongkar kasus ini. Pernyataan SBY yang terkenal, menyebut penyelesaian kasus Munir sebagai ‘a test of our history.’ Pernyataan itu membutuhkan pembuktian, sudahkah bangsa ini sudah melalui ujian sejarahnya.

Tags: