DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis
Terbaru

DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis

Melewati 2008 dan memasuki Tahun Kerbau 2009, rasa gamang masih menerpa. Pengusaha asuransi, misalnya, memprotes ketentuan modal yang ditetapkan Pemerintah.

Mys/Sut
Bacaan 2 Menit

 

Status badan hukum korporasi bisa dicabut kalau terbukti melakukan diskriminasi ras dan etnis. Mengapa korporasi yang dihukum, kalau misalnya yang melakukan diskriminasi hanya seseorang?

Tentunya harus lihat peraturannya, apakah ini kesalahan korporasi atau orang per orang. Kalau merupakan suatu keputusan lembaga korporasi, tentunya tanggung jawab itu ada pada korporasi. Tetapi jangan hanya menyalahkan direktur utamanya. Salahkan juga pemegang saham, karena ini keputusan RUPS –misalnya-- untuk melakukan suatu diskriminasi orang cacat. Kalau perbuatan itu dilakukan seorang manajer SDM, harusnya dia pribadi yang kena.

 

Bagaimana pandangan Anda tentang Perppu yang mengatur BI berwenang mengambil alih RUPS. Bukankah itu bertentangan dengan UU PT?

Sebenarnya UU yang satu dengan lainnya banyak yang saling bertentangan. Sudah banyak benar kejadian seperti ini.  Apalagi kalau kedudukan peraturannya sejajar.  Saya bisa mengerti. Namaya Perpu kan dikeluarkan dalam keadaan darurat.  Tapi kalau ini dilegalisir menjadi suatu UU, itu yang tentunya membuat ketidakpastian hukum makin menjadi-jadi.  Yang jelas memang kalau dibilang bertentangan, iya bertentangan sama sekali. Kalau dalam keadaan darurat, kenapa nggak? 

 

Rezim yang menjadi payungnya berbeda.  Rezim UU PT dan rezim UU BI.

Kedudukan kedua UU ini kan sejajar, tapi saling bertentangan.  Yang satu pegang UU PT, yang lain pegang UU BI.  Kondisi seperti inilah yang saya bilang sebagai krisis hukum. Ada ratusan atau ribuan Perda bermasalah, tumpang tindih dengan Perda lain, atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bagi saya, yang pertama substansi peraturannya tidak jelas, dan kedua penegak hukumnya. Pembuat undang-undangnya sangat tidak berkualitas.

 

Salah satu upaya Pemerintah menyelamatkan dunia usaha adalah Peraturan Bersama empat Menteri. Tapi diprotes kalangan buruh. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya lihat SKB –maksudnya Peraturan Bersama Empat Menteri (red) -- itu memang menunjukan adanya suatu kepanikan.  Paling tidak Pemerintah mau aman sehingga mengeluarkan SKB. Biar sama-sama mengamankan semua sisi, termasuk juga masalah ketenagakerjaan. Kalau terjadi PHK besar-besaran, pasti berdampak pada krisis sosial dan ekonomi juga.  Saya bisa mengerti dengan content SKB. Dari sisi struktur, mungkin SKB tidak ada bedanya dengan SK Menteri. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (UU No. 10 Tahun 2004 --red), kan tidak ada SK Menteri. 

 

Menurut Anda, apakah SKB itu menjawab kebutuhan pengusaha?

Saya pikir dalam sisi teknis iya. Tapi kalau misalnya secara keseluruhan nggak cukup hanya dengan SK Menteri. 

 

Atau, haruskah merevisi UU Ketenagakerjaan?

Itu bisa saja dilakukan. Masalahnya, kita sudah bisa bayangkan perlawanan dari tenaga kerja. Sudah ada upaya perubahan UU Ketenagakerjaan, namun mendapat perlawanan dari kalangan buruh.  Sebenarnya kita harusnya menyadari bahwa UU Ketenagakerjaan di Indonesia adalah satu di antara sedikit negara yang punya UU ketenagakerjaan paling liberal. Istilahnya, undang-undang yang tidak bersahabat dengan dunia usaha, nggak menarik bagi investor.  Dulu, keunggulan Indonesia salah satunya adalah tenaga kerja murah, ramah, dan bersahabat.  Sekarang nggak, semua diatur. Ngeri. Buruh mengundurkan diri pun mesti bayar pengusaha. Buruh melakukan tindak pidana, bayar juga, diskors nggak ada jangka waktu.  Diskors karena tindak pidana misalnya, tidak ada jangka waktu yang pasti kapan putusnya.  Pidananya selesai sampai kasasi dua tahun, maka dua tahun dibayar terus.

 

Kondisi semacam ini, hitung-hitungan untuk dunia usaha cukup berat.  Tapi sebetulnya kita mesti lihat, dampaknya adalah investor tidak mau pakai tenaga kerja yang banyak. Pengusaha menghindari padat karya. Kalau bisa pakai mesin saja. Kita harus selalu membandingkan pesaing-pesaing kita seperti Kamboja dan Vietnam.  Kita masih unggul sama Burma karena Burma sistim politiknya tidak terlalu menguntungkan.  Tapi kalau mendirikan pabrik, Vietnam jauh lebih menarik, perizinan cepat selesai, tidak seperti di Indonesia.  Saya cuma khawatir investor lari.  Kalau investor di pasar modal sudah banyak yang lari.  Meskipun demikian, saya tetap optimis, banyak pengusaha berkomitmen kepada pemerintah. Walaupun perangkat hukumnya kurang, jauh dari yang diharapkan, mereka punya komitmen yang cukup baik. 

 

Pemerintah dan DPR kan sudah membuat UU Penanaman Modal yang baru, yang lebih menarik. Apa kritik Anda?

Menurut saya substansi UU Penanaman Modal sangat menjanjikan. Hanya, kurang ‘menggigit'.  Implementasinya sangat sulit dilakukan. Misalnya, di situ penanam modal dijanjikan berhak atas kenyamanan dan keamanan.  Kalau kenyamanan dan keamanan mereka tidak bisa terpenuhi, harusnya negara tanggung jawab dong? Tanggungjawabnya dalam bentuk apa?  Lips service UU Penanaman Modal terlalu banyak, seperti orang jualan. Saya pernah ikut sosialisasi UU Penanaman Modal di beberapa negara. Rasanya malu sendiri, manis sekali.  Pada saat itu memang tidak terbukti sama sekali.  Isi UU-nya manis sekali, ketahuan lagi jualan kepada investor. Sayang, daftar negatif investasinya (DNI) justru menimbulkan ketidakpastian hukum.  Ada pertengangan sehingga Perpres DNI berubah-ubah. Pengusaha sudah mau berinvestasi, eh tiba-tiba Perpres DNI-nya berubah.

 

Pada 1998, UU Kepailitan lahir untuk mengatasi dampak krisis. Kini sudah mulai diambang krisis dan UU Kepailitan sudah mulai diutak-atik.

Menurut saya, sebagian besar UU Kepailitan  masih layak. Yang harus hati-hati adalah kaitan kepailitan dengan pajak. Ini menjadi senjata yang luar biasa. Katakanlah syarat untuk mempailitkan dua utang. Syarat ini selalu gampang diperoleh. Apalagi untuk perusahaan go public karena punya banyak supplier. Kadang pemohon cuma mau bikin bargaining saja. Bagaimana caranya? Pemohon kumpulan dua utang, lalu ajukan pailit. Kalau bank sih sudah ada pengamannya, harus ada izin dari BI. Untuk perusahaan go public, menurut saya harus diamankan juga. Kalau tidak, bahaya. Ini kaitannya dengan stabilitas perekonomian ya.

 

Selain syarat dua utang tadi, apalagi kira-kira yang perlu dikritisi?

Sebenarnya banyak. Kalau kita bicara UKM, kan banyak usaha keluarga, suami-isteri. Pengertian keluarga ini seberapa besar. Mana satu pihak, mana pihak lain. Kemudian, harus ada pengertian kepailitan kaitannya dengan pajak. Banyak orang demi menghindari pajak akhirnya mempailitkan perusahaan. Aturannya kan belum jelas juga. Solusinya, pailit saja. Sudah jadi rahasia umum, untuk menghindari tagihan, suami isteri pura-pura cerai. Itu suami isteri. Apalagi kalau cuma perusahaan. Kita musti hati-hati. Kepailitan itu diatur sebagai satu jurus pamungkas untuk tidak merugikan orang lain. Tetapi yang ada orang-orang beriktikad tidak baik sudah mendahului. Tangan UU Kepailitan belum sampai ke sini. Memang, sifatnya kasuistis. Sebagai praktisi, saya sering mengalami hal seperti itu. Perusahaan yang tadinya besar sekali, begitu dipailitkan ternyata sudah tidak ada aset apa-apa yang berharga. Kadang-kadang ini terjadi karena proses hukum terlalu lama. Malah ada pengacara yang sengaja mengulur-ulur waktu. Ada loophole yang bisa dimasuki dalam UU Kepailitan. Kita hancur karena peraturannya tidak jelas.

 

Bagaimana Anda melihat Sunset policy?

Kebijakan SP sebenarnya sebuah daya tarik. Tetapi ketika orang masuk ke dalamnya, luar biasa. Yang dihapuskan kan denda. Selama ini denda juga dihapus kalau kita keberatan. Jadi, tidak ada hal yang luar biasa dari SP. Dari diskusi dengan beberapa pengusaha, tidak ada hal yang luar biasa. Saya melihatnya lebih pada membangun image Ditjen Pajak yang baik bagi masyarakat. Kalau tidak bocor sih saya kira masyarakat juga rela bayar pajak. Yang penting pada saat kita tua, seperti di Eropa, negara menjamin hidup kita. Pajak ibarat membayar premi. Kalau begini, saya yakin tidak ada masalah. Tapi kalau sekarang kan belum jelas. Kita sudah membayar pajak, kita tidak tahu fasilitas apa yang kita terima. Jadi, ibaratnya pajak masih seperti uang preman. Yang gak jelas larinya kemana. Kadang-kadang uang preman masih jelas. Begitu kita bayar, kita aman misalnya. Pajak? Apa manfaatnya?

Tags: