DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis
Terbaru

DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis

Melewati 2008 dan memasuki Tahun Kerbau 2009, rasa gamang masih menerpa. Pengusaha asuransi, misalnya, memprotes ketentuan modal yang ditetapkan Pemerintah.

Mys/Sut
Bacaan 2 Menit

 

Dhaniswara termasuk salah seorang pengusaha yang juga menggeluti bidang hukum. Sehari-hari pria kelahiran 26 Oktober 1960 ini mengelola kantor pengacara Dhaniswara Harjono & Partners di Jakarta. Ia penah menjadi kuasa hukum pelawak Barata Nugraha alias Polo ketika terjerat perkara narkoba di PN Jakarta Timur.

 

Sebagai pengusaha, Dhaniswara tercatat menduduki jabatan Ketua Umum HIPPI Jakarta, dan Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) DKI Jakarta. Sebagai akademisi, Dhaniswara mengajar hukum bisnis di beberapa perguruan tinggi. Ia juga menulis sejumlah buku antara lain ‘Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha' dan ‘Hukum Penanaman Modal'. Kini, ia juga mulai memasuki dunia politik.

 

Beberapa waktu lalu, hukumonline berkesempatan menggali pandangan Dhaniswara mengenai dampak krisis ekonomi dan antisipasi kebijakan hukum di Indonesia. Berikut petikannya.

 

Apakah Anda yakin regulasi dalam bidang hukum bisnis yang ada saat ini bisa menjawab kemungkinan dampak krisis ekonomi?

Kalau kita bicara mengenai hukum bisnis, memang masih jauh dari harapan. Hukum merupakan sarana pembangunan, termasuk pula pembangunan  bidang bisnis. Jadi seharusnya bukan bisnisnya dulu yang maju baru hukum di belakangnya. Yang terjadi di Indonesia, bisnisnya maju hukum terbelakang. Andaikata hukum berusaha mengejar, tidak akan terkejar. Yang terjadi, peraturan-peraturan bisnis yang ada saling tumpang tindih. Yang kemudian terjadi adalah ketidakpastian hukum. Padahal, hukum yang bagus adalah hukum yang memberi kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Ini yang saya lihat masih jauh dari harapan.

 

Artinya, setelah krisis di depan mata, baru kita bikin peraturannya?

Ya. Kalau kita bicara krisis, ini kan situasional. Sekarang, keadaan hukum kita ya begini, penegakan hukumnya memprihatinkan. Tetapi kita tidak boleh menyerah. Dalam kondisi krisis memang akan banyak beleid yang harus dikeluarkan. Saya setuju dengan terbitnya sejumlah Perppu meskipun kepentingannya jangka pendek. Paling tidak, Perppu tersebut menjadi jurus pamungkas untuk meyakinkan masyarakat bahwa kegiatan investasi di Tanah Air masih prospektif. Sampai detik ini, saya kira kita belum memasuki yang namanya krisis. Kita baru diambang krisis. Kalau begitu, kita harus melakukan ‘perlawanan' supaya kita tidak semakin terjerumus menuju krisis. Singapura dan Jepang sudah menyatakan negara dalam keadaan krisis. Kalau saya lihat Indonesia belum sampai ke situ.

 

Bukankah dengan menerbitkan Perppu berarti Pemerintah mengakui kondisi darurat perekonomian?

Keadaan darurat ya, tetapi belum krisis. Kalau kita tidak mengambil langkah-langkah yang bersifat darurat, krisis bisa terjadi di Indonesia. Kebijakan semacam Perppu justru untuk menangkal terjadinya krisis. Dampak krisis global sulit dihindari. Dengan dikeluarkannya Perppu, Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat untuk tidak berbondong-bondong menarik dana dari Indonesia ke luar negeri. Katakanlah akibat tidak percaya kepada dunia perbankan. Untuk mengantisipasinya diterbitkan Perppu, dan ada sanksi-sanksi tegas. Jadi, selain mengeluarkan kebijakan, Pemerintahnya juga harus menegakkan hukumnya. Kepada pelaku yang membuat masyarakat tidak percaya, membuat masyarakat menjadi resah, tentu harus diambil suatu tindakan yang tegas. Saya lihat Pemerintah sudah tanggap mengambil langkah-langkah ke arah itu. Hanya, langkah itu tidak didukung perangkat hukum yang cukup. Harusnya perangkat hukum yang dibutuhkan sudah diantisipasi sejak awal. Misalnya, Perppu batas penjaminan perbankan yang 100 juta rupiah dinaikkan menjadi dua miliar. Tetapi kenapa baru sekarang terpikirkan, karena dari dulu sudah tidak layak 100 juta. Kondisi kita sudah lampu kuning benar. Jadi, perkembanhgan tersebut harus diantisipasi dengan benar. Salah ambil langkah, habislah kita.

Tags: