Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum
Kolom

Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum

Selain tinjauan dari perspektif norma dasar, kita juga bisa melakukan analisis berdasarkan konsistensi materi yang diatur pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan.

Bacaan 2 Menit

 

Berdasarkan perspektif yang demikian, maka menurut Penulis perilaku homoseksual dan lesbian tidak bisa menjadi hal-hal yang dilindungi dan tidak boleh menjadi dasar diskriminasi (legally protected interest) seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003.

 

Selain tinjauan dari perspektif norma dasar, kita juga bisa melakukan analisis berdasarkan konsistensi materi yang diatur pasal-pasal lain dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003. Pendekatan ini dilakukan berdasarkan prinsip bahwa hukum atau undang-undang merupakan satu sistem. Masing-masing bagian harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian lain. Memahami satu pasal dalam undang-undang juga tidak boleh lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut. (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakaerta, 2012, hal.55).

 

Dalam hal ini Penulis mengambil ketentuan Pasal 158 (1) d, yang mengatur alasan PHK karena pelanggaran berat berupa melakukan perbuatan asusila di lingkungan kerja. (Meskipun ketentuan pasal ini pernah dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.012/PUU-I/2003, namun berdasarkan Surat Edaran Menakertrans No.SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 ia tetap dapat menjadi alasan PHK sepanjang ada putusan pidana berkekuatan hukum tetap).

 

Merujuk pada pendapat R. Soesilo, kesusilaan diartikan sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. (R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1996, hal.204). Oleh karena itu perbuatan yang asusila dapat diartikan sebagai perbuatan yang menimbulkan malu sehubungan dengan nafsu kelamin, seperti misalnya bersetubuh, perilaku homoseksual dan lesbian. Merujuk pada ketentuan Pasal 158 (1) d ini, maka perilaku homoseksual dan lesbian merupakan pelanggaran berat yang dapat menjadi dasar PHK. Atas dasar hal ini, maka perilaku  homoseksual dan lesbian juga tidak mungkin menjadi hal-hal yang dilindungi dan tidak boleh menjadi dasar diskriminasi (legally protected interest) seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, karena menjadi tidak konsisten.

 

Dalam praktik, ada perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri tertentu, mengatur masalah perilaku homoseksual ini dalam PKBnya. Misalnya pada industri hulu migas lepas pantai, atau industri perkebunan yang berlokasi di daerah terpencil. Mereka mengatur perilaku homoseksual sebagai pelanggaran berat dengan saksi PHK. Pertimbangannya adalah kondisi lingkungan kerja yang rawan penyimpangan perilaku seksual. Best practice ini dapat dicontoh demi adanya kepastian hukum dan menghindari keragu-raguan dalam pelaksanaannya.

 

Sebagai penutup, Penulis ingin menggarisbawahi bahwa kondisi hukum di AS dan Indonesia berbeda dan berpangkal pada filsafat yang berbeda. Dengan pandangan utilitarisme, hukum AS dapat mengakomodasi kepentingan kaum LGBT, terutama jika pandangan liberal sedang dominan. Sedangkan Indonesia dengan Grundnorm Pancasila, perilaku LGBT dianggap sebagai penyimpangan sehingga tidak dapat dipandang sebagai legally protected interest.   Wallahu'alam bishawwab.

 

*)Dr. Nugroho Eko Priamoko, SH MHum LLM adalah Praktisi & pemerhati masalah hubungan industrial, tinggal di Pekanbaru.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait