Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum
Kolom

Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum

Selain tinjauan dari perspektif norma dasar, kita juga bisa melakukan analisis berdasarkan konsistensi materi yang diatur pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan.

Bacaan 2 Menit

 

Hakim Agung Kennedy, yang dalam perkara tersebut menulis pendapat hukum mewakili mayoritas menyatakan bahwa para penggugat tidak bermaksud merendahkan keluhuran lembaga perkawinan, sebaliknya mereka justru memiliki komitmen dan dengan kondisi mereka, pernikahan sesama jenis merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan komitmen tersebut. Sebaliknya Ketua Mahamah Agung Roberts menegaskan bahwa lembaga perkawinan bukanlah ketidaksengajaan historis. Dalam kurun waktu ribuan tahun dan di berbagai budaya, perkawinan telah dipahami sebagai ikatan antara seorang pria dan wanita. Lembaga perkawinan memiliki fungsi luhur untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia dengan berkembang biak, di mana hal tersebut dapat tercapai hanya jika perkawinan berlangsung antara pria dan wanita. Dari waktu ke waktu dominasi pandangan konservatif dan pandangan liberal selalu berganti-ganti tergantung komposisi majelis hakim yang ada, dan akan tercermin dalam putusan yang diambilnya.

 

Sebegitu jauh evaluasi hukum yang mengakomodasi kepentingan kaum LGBT rupanya belum menyentuh masalah diskriminasi kerja secara tuntas. Di Amerika Serikat, aturan dasar mengenai diskriminasi hubungan kerja diatur dalam Civil Right Act of 1964 Title VII, yang melarang diskriminasi hubungan kerja berdasar ras, agama, asal kebangsaan dan seks. Terminologi seks inilah yang menjadi pertanyaan, apakah di dalamnya mencakup juga orientasi seksual dan identitas gender. Jika dianggap tercakup, maka diskriminasi hubungan kerja karena pekerja adalah LGBT adalah melanggar hukum.

 

Dari 50 negara bagian, ternyata ada 21 negara bagian yang mengatur di dalam hukum negara bagiannya bahwa diskriminasi hubungan kerja karena orientasi seksual dan identitas gender adalah terlarang (dalam peta ditandai warna merah), 2 negara bagian yang mengatur secara parsial (warna biru), dan sisanya tidak mengatur (warna abu-abu).

 

Hukumonline.com

 

Kondisi ketidakseragaman ini tentu berdampak bagi para pencari keadilan. Orang-orang yang memiliki masalah hukum yang sama, dalam hal ini diskriminasi dalam hubungan kerja, tetapi mengajukan gugatan di negara bagian yang berbeda, boleh jadi akan mendapatkan hasil yang berbeda.

 

Ketidakseragaman pandangan bahkan juga terjadi pada lembaga-lembaga penegak hukum, dalam hal ini Department of Justice (DOJ) dan Equal Employment Opportunity Commission (EEOC). Perbedaan pandangan tersebut mengemuka dalam proses persidangan di Pengadilan Banding Federal Second Circuit pada bulan Juli 2017, dalam perkara Zalda v. Altitude Express Inc.

 

DOJ berpendapat bahwa ketentuan Civil Right Act of 1964 Title VII tidak mencakup perlindungan terhadap diskriminasi kerja berdasarkan orientasi seksual, karena pembuat undang-undang jelas-jelas tidak mengaturnya. Sebaliknya EEOC berpendapat bahwa dalam setiap kasus diskriminasi orientasi seksual, pasti satu pihak melakukan tindakan diskriminasi dengan melihat jenis kelamin pegawainya juga, di mana hal tersebut jelas dilarang berdasarkan ketentuan Title VII.

 

Dalam kondisi yang penuh pertentangan tersebut, Mahkamah Agung ternyata kemudian memutuskan untuk mengabulkan permohonan untuk memeriksa (writ of certiorari) tiga kasus yang berkaitan dengan diskriminasi kerja karena orientasi seksual, yaitu kasus Altitute Express Inc. v Zarda, Bostock v Clayton County dan RG & GR Harris Funeral Homes v EEOC.

Tags:

Berita Terkait