Dirjen Pajak: Target memang Turun, Kinerja tetap Naik
Berita

Dirjen Pajak: Target memang Turun, Kinerja tetap Naik

Dirjen Pajak merasa basis perekonomian tak memungkinkan terjadinya lonjakan drastis target pajak. Anggota parlemen mensinyalir data pajak simpang-siur. Reformasi pajak harus datang dari dua arah.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Dirjen Pajak: Target memang Turun, Kinerja tetap Naik
Hukumonline

 

Darmin menengarai, ada beberapa sektor usaha yang ogah bayar pajak dengan benar. Terutama sektor kelapa sawit. Lalu disusul sektor jasa konstruksi, ada pula batubara. Bahkan yang terakhir ini manipulasinya ruwet, ujar Darmin. Maklum, pajak atas batubara berdasarkan kadar kalorinya. Karena beragam tarif itulah, para pengusaha intan hitam ini diduga banyak menyelewengkan pajak.

 

Profil Pajak 2001-2007, termasuk APBN-P 2007

Tahun

Pajak non migas (Rp miliar)

Tax ratio

(%)

Penerimaan (%)

Rasio Pendapatan Ditjen Pajak terhadap pendapatan dalam negeri (%)

Kinerja Ditjen Pajak (%)

2001

135,47

10,97

n.a.

45,18

n.a.

2002

159,17

11,12

10,02

53,07

3,39

2003

185,38

11,58

19,60

54,42

7,11

2004

216

12,05

18,31

53,60

4,82

2005

263

12,89

34,02

48,76

5,74

2006

314,5

13,58

20,70

48,3

6,78

APBN 2007

411,32

14,43

10,9

56,89

17,43

APBN-P 2007

386,3

13,00

5,83

57,29

12,85

Sumber: Ditjen Pajak, bahan diskusi 13 Agustus 2007

 

Sementara itu, Dradjad menyayangkan penurunan target pajak. Salah satu janji Presiden Yudhoyono adalah menaikkan tax ratio menjadi 19% pada 2009. Tapi janji itu dikoreksi sepihak oleh Departemen Keuangan menjadi 16%. Namun, bisa dipastikan Presiden gagal memenuhi janjinya, tutur Dradjad.

 

Pendapat Dradjad ini berpijak pada prestasi tahun silam. Pada 2006, pemerintah hanya mampu meraup penerimaan Rp314,5 triliun. Padahal, targetnya Rp333 triliun. Telah terjadi kegagalan penerimaan sebesar Rp18,5 triliun. Jika melibatkan tunggakan restitusi dan ijon pajak, kegagalan bisa mencapai Rp27 triliun.

 

Darmin menjelaskan meski target menurun, kinerja Ditjen Pajak justru tetap naik. Selama ini kinerja direktorat ini berada di kisaran 5-7%. Jika menuruti patokan awal APBN 2007, kinerja Ditjen Pajak harus mencapai 17,43%. Jika melihat target APBN-P 2007, kinerjanya kudu 12,85%. Jadi tetap meningkat dibanding tahun 2006, kilah Darmin.

 

Kinerja ini dihitung dengan rumus tertentu. Angka rapor ini memperhitungkan rasio pajak, hasil penerimaan pajak, serta pendapatan domestik bruto.

 

Reformasi dua arah

Sementara itu Faisal Basri mengingatkan, pajak harus ditangani dengan cara dua arah perbaikan. Ada reformasi substansial dan reformasi birokrasi, tukas Faisal.

 

Menurut Faisal, reformasi birokrasi adalah seperti apa yang digagas oleh Darmin. Sedangkan reformasi substansial menyangkut kelengkapan seperangkat peraturan perpajakan. Sayangnya, hingga kini kita baru punya Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), keluh Faisal. Baik DPR dan pemerintah masih punya utang menyelesaikan RUU Pajak Penghasilan (RUU PPh) dan RUU Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah (RUU PPN dan PpnBM).

 

Faisal memberi contoh unik. Negara-negara komunis bekas Uni Sovyet justru sudah memulainya. Mereka justru menerapkan satu jenis tarif pajak (single flat tariff), yang sangat rendah. Di bawah 20%, sambung Faisal.

 

Gelombang pertama diusung oleh Rusia (tarif 13%), Serbia (14%), Romania (16%), Ukraina, dan Georgia. Gelombang kedua, baru-baru saja diterapkan Albania (10%), Ceko (15%), Montenegro (9%), serta Macedonia (12%). Hasilnya, Rusia justru memanen kenaikan pendapatan pajak di atas 20%, tutur Faisal.

 

Faisal menyayangkan Indonesia masih mematok tarif tinggi dan beragam. Bahkan kita masih di atas 30%. Padahal, pemerintah dan parlemen negara kapitalis Amerika Serikat sedang berdebat hendak menurunkan tarif pajak dari 30% menjadi 27%, imbuh Faisal panjang lebar.

 

Faisal tetap menggarisbawahi, meski target penerimaan menurun, nominalnya tetap naik dari realisasi tahun lalu. Wartawan jangan salah cerna. Targetnya memang turun, bukan penerimaan pajaknya yang merosot.

 

Darmin menyadari keinginan Faisal. Namun, Darmin tak mau terburu nafsu. Kalau saja tarif pajak kita turunkan 500 basis poin (5%), kita akan kehilangan penerimaan Rp21 triliun pada saat yang sama. Terus terang saja, struktur penerimaan pajak 80-90% berasal dari pembayar pajak besar. Sedangkan dari pos PPh pribadi masih kecil kontribusinya.

 

Faisal juga mengingatkan, jika penerimaan pajak bukan untuk belanja yang berguna, masyarakat akan makin enggan membayar pajak. Saya pilih ngemplang pajak, jika hanya untuk mendanai pemekaran daerah yang ngawur, studi banding yang tak jelas, atau pengeluaran negara yang tak perlu.

 

Berbuntut panjang

Dradjad menambahkan, target penerimaan pajak bisa makin berkurang lantaran penerapan UU KUP. Sebelumnya, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) keberatan atas klausul banding dalam Pasal 25. Mekanisme banding makan waktu lama dan si wajib pajak tak kudu melunasinya terlebih dahulu, cecarnya.

 

Dradjad mengingatkan, dampak merosotnya target penerimaan pajak ini bakal berdampak besar. Akan terjadi defisit anggaran yang lebih lebar, ungkapnya. Akibatnya, pemerintah butuh menambal lubang kantong negara ini dari sumber lain. Tentu akan memperbesar ongkos ekonomi di kemudian hari.

 

Jika defisit ditambal dari Surat Utang Negara (SUN), para investor bakal meminta suku bunga yang tinggi. Karena posisi negara yang sedang butuh kan? timpal Dradjad yang juga bergabung dalam kelompok ekonom Tim Indonesia Bangkit. Apalagi saat ini pasar finansial negara berkembang (emerging market) justru sedang ditinggalkan investor besar. Saat ini, menurut Dradjad, SUN netto sudah meningkat Rp18 triliun. Yakni, dari Rp40,6 triliun menjadi Rp58,5 triliun.

 

Bila defisit disulam dari privatisasi, Dradjad meramalkan hasilnya tak bakal maksimal. Sekali lagi, posisi kita yang memang lagi butuh. Akibatnya, penjualan sejumlah aset BUMN bakal murah, tuturnya.

Target penerimaan dari pajak menurun. Baik Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Panggar DPR) maupun Pemerintah sudah menyepakatinya Juli silam dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2007 (APBN-P 2007). Inilah penurunan target pajak yang pertama kalinya dalam sejarah.

 

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution pun mengakuinya. Saya sepakat penurunan target ini bukan suatu yang baik. Tapi baseline ekonomi 2006 memang ada di bawah, jelas Darmin dalam sebuah acara diskusi, Senin (13/8). Dalam forum tersebut, hadir pula ekonom kondang Faisal Basri dan Anggota DPR  Dradjad Harry Wibowo sebagai pembicara.

 

Darmin menjelaskan, penerimaan pajak rata-rata meningkat 18,4% setahun, pada 2001-2007. Capaian tertinggi adalah pada 2005. Kala itu penerimaan pajak kita naik menjadi 21,9%, tutur Darmin.

 

Darmin tetap menggenjot potensi yang ada. Ia mengakui selama ini struktur pembayar pajak masih didominasi oleh korporasi. Karena itu, pasukan Gatot Subroto ini bakal menyisir 200 besar pembayar pajak. Akan kita buka lagi arsip lima tahun yang lalu. Kita bereskan jumlah pajaknya. Saat ini baru bisa kita lihat file tiga tahun: 2005, 2006, dan 2007, terang Darmin.

Tags: