Dapat Gelar Profesor Kehormatan Universitas Melbourne, Prof Jimly Singgung Kemunduran Demokrasi
Utama

Dapat Gelar Profesor Kehormatan Universitas Melbourne, Prof Jimly Singgung Kemunduran Demokrasi

Salah satu sebab penurunan kualitas demokrasi dan negara hukum, yakni munculnya gelombang rasialisme dan Islamophobia di seluruh dunia.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kelima, munculnya kecenderungan baru dimana ada 4 kekuatan atau “macro quaru-politica” yang meliputi “state, civil society, market, and the media” bergerak ke arah genggaman satu tangan kekuasaan. Prof Jimly mencatat di Indonesia belakangan ini cenderung terjadi penumpukan kekuasaan di satu tangan. Terutama terkait ranah kekuasaan (domain of power): (i) state, (ii) civil society, (iii) business corporations, dan (iv) the media. Keempat hal itu muncul sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Keempat kekuatan itu di Indonesia dewasa ini sedang bergerak ke arah penyatuan di satu tangan kekuasaan yang akan melahirkan apa yang saya namakan sebagai totalitarianisme baru,” ujar Prof Jimly.

Keenam, covid-19 yang dibajak dan disalahgunakan untuk membuat keputusan-keputusan kenegaraan yang tidak partisipatoris dan mengabaikan pentingnya prinsip “deliberative democracy” dan partisipasi publik yang substantif. Cara-cara pengambilan keputusan yang seperti itu terjadi, baik dalam pembentukan UU di parlemen dan produk regulasi pelaksanaan UU maupun dalam pembuatan produk keputusan administrasi pemerintahan rutin.

“Misalnya, ada UU yang memuat ketentuan yang demikian tebal hingga 1.000-an halaman tetapi hanya dibahas di parlemen dalam waktu 100 hari, tanpa perdebatan substantif dan partisipasi public secara langsung langsung ataupun melalui media massa,” paparnya.

Terpisah, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Denny Indrayana, mengatakan Prof Jimly menerima gelar Profesor Kehormatan dari Melbourne Law School melalui program Miegunyah Fellowship, salah satu program paling bergengsi di Australia. Gelar kehormatan tersebut tentu merupakan prestasi yang sangat membanggakan, karena proses pemilihannya yang sangat selektif. “Sepengetahuan saya, baru Profesor Jimly Asshiddiqie yang mendapatkannya dari Indonesia,” ujarnya dikonfirmasi, Jumat (28/7) kemarin.

Prof Jimly menjadi salah satu warga Indonesia yang mendapat gelar profesor dari Fakultas Hukum Universitas Melbourne. Sebelumnya yang pernah mendapat gelar Profesor yakni Adnan Buyung Nasution di tahun 2010, dan Todung Mulya Lubis tahun 2014. Prof Denny mendapat gelar sebagai profesor tamu dan mengajar di Melbourne Law School periode 2016-2019.

Dalam pidato pengukuhannya selaku Guru Besar Kehormatan itu Prof Denny menilai, Profesor Jimly menguraikan banyak hal, terkait kemunduran demokrasi dan agenda pemberantasan korupsi di tanah air. Beberapa fokus di antaranya, Profesor Jimly mengkritik dan merisaukan hadirnya totalitarian model baru dengan menumpuknya kekuasaan politik pada seseorang saja yang, "menguasai jaringan bisnis, jaringan industri media, dan jaringan sosial masyarakat (NGO's)". Penumpukan kekuasaan itulah, salah satunya, yang menimbulkan benturan kepentingan yang ujungnya amat merusak demokrasi dan tatanan negara hukum Indonesia.

Dalam penyerahan Guru Besar Kehormatan yang dinisiasi oleh Profesor Tim Lindsey sebagai Direktur CILIS (Centre for Indonesian Law, Islam and Society) tersebut, hadir pula Dekan Fakultas Hukum Melbourne, Profesor Matthew Harding, yang secara simbolik menyerahkan plakat Guru Besar Kehormatan kepada Profesor Jimly Ashiddiqie. Sebagai balasannya, Profesor Jimly Asshidiqie menyerahkan 65 bukunya—dari 75 yang telah Beliau tulis, untuk disumbangkan ke perpustakaan di Melbourne Law School. “Selamat profesor Jimly Asshidiqie,” pungkas Prof Denny yang juga hadir dalam acara pemberian gelar Profesor Kehormatan untuk Prof Jimly itu.

Tags:

Berita Terkait