Dapat Gelar Profesor Kehormatan Universitas Melbourne, Prof Jimly Singgung Kemunduran Demokrasi
Utama

Dapat Gelar Profesor Kehormatan Universitas Melbourne, Prof Jimly Singgung Kemunduran Demokrasi

Salah satu sebab penurunan kualitas demokrasi dan negara hukum, yakni munculnya gelombang rasialisme dan Islamophobia di seluruh dunia.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kedua, ujaran kebencian, permusuhan, disinformasi, dan miskomunikasi di ruang publik. Menurut Prof Jimly bersamaan dengan gelombang rasisme dan praktik-praktik tindakan diskriminasi berdasarkan ras, etnis, dan agama, atas pengaruh sistem informasi dan komunikasi digital dan media yang sosial yang serba bebas, berkembang pula gelombang kebencian, permusuhan, miskomunikasi, dan disinformasi di ruang publik. Semua ini melahirkan apa yang dikenal sebagai gejala pasca kebenaran (post truth) di segala bidang kehidupan.

Pengalaman Indonesia mempelihatkanbetapa ruang publik didominasi oleh ujarankebencian antar golongan yang meluas ke persoalan-persoalan identitas berdasarkan ras, etnis dan agama dalam kontestasi politik. Orang sulit membedakan kritik dengan kebencian yang menyasar pribadi, sehingga banyak orang yang bersikap anti pemerintah harus menghadapi proses hukum. Hal ini tentu saja memperburuk kualitas demokrasi dan negara hukum dalam praktik.

Ketiga, gejala deinstitutionalisasi politik. Prof Jimly menjelaskan praktik benturan kepentingan antara pribadi pejabat dengan jabatannya dalam komunikasi publik. Dewasa ini, semua orang bertindak sebagai wartawan sendiri-sendiri melalui platform digital, termasuk para pejabat negara dan pemerintahan yang seringkali men-twit segala sesuatu di media sosial tanpa dapat dibedakan mana twit pribadi dan mana twit institusi jabatan yang diembannya. Mana urusan pribadi dan mana urusan dinas tercampur aduk di ruang publik karena praktik komunikasi publik yang sangat bebas dan serba terbuka.

Akibatnya, muncul gejala “deinstitutionalisasi politik” sebagai kebalikan dari tuntutan kebutuhan untuk agenda konsolidasi dan institusionalisasi kegiatan-kegiatan politik dalam sistem bernegara. Hal ini semakin diperparah oleh budaya politik yang masih fedal, sehingga yang terjadi bukanlah institusionalisasi politik tetapi sebaliknya gelombang “deinstitusionalisasi politik” yang menambah buruk kualitas demokrasi dan negara hukum. “Yang berlaku bukan “the rule of law”, tetapi “the rule by law” yang tidak lain adalah “the rule of man by misusing law,” ujar Jimly.

Keempat, berkembangnya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. Menurut Prof Jimly konflik kepentingan yang berkembang dalam praktik dewasa ini, bahkan terkait pula dengan hubungan antara bisnis dan politik. Sekarang lebih dari 50 persen pejabat di Indonesia, mulai dariMenteri, anggota DPR, DPD dan MPR, DPRD Povinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia merangkap sebagai pengusaha atau memiliki saham di perusahaan-perusahaan swasta.

Tercatat lebih dari 60 persen anggota DPR periode 2019-2024 dewasa ini adalah pengusaha atau memiliki saham atau menjadi pengurus perusahaan (direksi atau komisaris). Bahkan banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga merangkap jabatan komisaris di berbagai perusahaan milik negara. Oleh karenanya sering timbul banyak masalah yang disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara politik dan bisnis ini.

Sampai sekarang, Indonesia belum menerapkan larangan konflik kepentingan, termasuk dalam relasi antara bisnis dan politik. Akibatnya, praktik korupsi terus berkembang di banyak tempat, padahal sikap anti korupsi merupakan salah satu amanat terpenting dari reformasi Indonesia 25 tahun yang lalu.

Tags:

Berita Terkait