Begini Cara Syafruddin Diduga Perkaya Sjamsul Nursalim Rp4,58 triliun
Utama

Begini Cara Syafruddin Diduga Perkaya Sjamsul Nursalim Rp4,58 triliun

​​​​​​​Syafruddin didakwa bersama-sama Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim melakukan korupsi yang diduga merugikan negara Rp4,58 triliun

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Pada saat dialihkan kredit tersebut dianggap sebagai kredit lancar dan diakui oleh BPPN dengan nilai Rp4,8 triliun (dengan konversi AS$1 = Rp11.075). Dengan kenyataan bahwa kredit tersebut merupakan kredit macet maka BPPN dirugikan Rp4,8 triliun dengan demikian pemegang saham lama telah melakukan misrepresentasi.

 

Baca:

 

Arahan Syafruddin

Singkat cerita, Ketua BPPN sebelumnya yaitu Glenn M.S Yusuf dan Cacuk Sudariyanto menagih kekurangan yang disebabkan kredit macet itu kepada Sjamsul. Glenn meminta Sjamsul menyanggupi menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN sebesar Rp4,8 triliun. 

 

Sedangkan Cacuk, pada masa kepemimpinannya mengadakan pertemuan dengan Sjamsul untuk mencari solusi perbedaan pendapat karena ia menolak menambah aset. Pertemuan pun dilanjutkan antara pihak Aset Manajemen Investasi (AMI) dan Aset Manajemen Kredit (AMK) BPPN dengan pihak PT Gadjah Tunggal Group sebagai induk perusahaan PT DCD dan PT WM yang diwakili oleh Mulyati Gozali.

 

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut terjadi kesepakatan antara BPPN dengan Sjamsul yang pada intinya BPPN akan melakukan restrukturisasi kredit petambak PT DCD dan PT WM. Salah satunya berkaitan dengan restrukturisasi hutang Petambak Plasma berdasarkan jumlah maksimal hutang yang dapat diakomodasikan oleh kelayakan budidaya yang diperkirakan sebesar Rp135 juta per plasma sehingga total mencapai Rp1,3 triliun. 

 

Edwin Gerungan, Ketua BPPN setelah Cacuk juga meminta eksekusi jaminan kepada Sjamsul untuk melunasi hutang, tapi ia menolaknya. Ia beralasan akan mengirimkan usulan restrukturisasi hutang petambak plasma. 

 

Pada 27 Februari 2001 usulan mengenai restrukturisasi hutang petambak plasma sebesar Rp135 juta per petambak dan Rp1,9 triliun ditagihkan kepada Sjamsul dibawa ke rapat KKSK. Syafruddin yang kala itu menjabat sebagai sekretaris KKSK dianggap membuat materi yang mengarahkan supaya KKSK menolak proposal perusahaan inti (PT DCD) atau debitur mengenai permohonan penghapusan terhadap porsi unsustainable sejumlah Rp1,4 triliun.

 

Tetapi Syafruddin mengusulkan untuk mempertimbangkan usulan restrukturisasi porsi unsustainable sejumlah Rp1,9 triliun di level perusahaan inti. Selain itu ia juga mengusulkan supaya KKSK menetapkan hutang sustainable petambak plasma maksimal sebesar Rp100 juta per petambak, jauh dari usulan BPPN adalah maksimal sebesar Rp135 juta.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait