Bantuan Hukum Salah Urus
Kolom

Bantuan Hukum Salah Urus

Dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014 yang lalu, ada OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana siluman, tidak ada yang tahu pertanggungjawabannya.

Bacaan 2 Menit

Apalagi Jika memakai logika berpikir seperti demikian maka akan sangat berbahaya dan semakin kontraproduktif dengan metode pendekatan dan penyelesaian masalah yang seirama dengan kultur budaya lokal kita sendiri, mental pemberian bantuan hukum seakan diarahkan untuk selalu menyelesaikan perkara lewat jalur persidangan.

Pertanyaannya sekarang, apakah semua perkara yang memasuki proses penyidikan wajib untuk digulirkan terus sampai dengan proses persidangan? Terlalu banyak contoh-contoh kasus kecil yang dialami rakyat miskin yang menyeret mereka tersebut sampai di meja hijau. Contohnya, kasus nenek Rasmiah atau kasus nenek Minah yang diadili karena 2 biji kakao.

Kasus-kasus seperti inilah yang sebenarnya tidak perlu sampai diajukan ke depan persidangan, para pembela bisa melakukan tindakan hukum di tahap penyidikan untuk menyelesaikan perkara ini baik melalui pendekatan restorative justice atau lainnya. Semangat inilah yang akan mendegradasi pola berpikir kita dalam memberikan bantuan hukum, apalagi pola penanganan perkara secara konvensional yang legalistik harus diselesaikan di muka sidang akan tidak sejalan dengan semangat diversi di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang baru.

Bertolak sekali dengan ketentuan tidak tertulis BPHN (atau lebih tepat dikatakan –ketentuan Kementerian Keuangan yang tidak pernah disosialisasikan) yang menolak laporan litigasi jika belum memiliki nomor register persidangan. Jika ini diterapkan kembali maka semangat restorative justice yang mulai muncul terutama dalam perkara anak melalui UU SPPA lewat diversi, atau sebuah SP3 tidak akan bisa dihitung sebagai sebuah perkara yang dapat dilaporkan ke BPHN. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh kepada kinerja akreditasi OBH yang bersangkutan, sebagai catatan, semua OBH wajib memenuhi kuota perkara sebanyak 60 perkara untuk akreditasi A, 30 perkara untuk akreditasi B & 15 perkara untuk akreditasi C.

Pengelolaan Tidak Transparan
Selain itu, mekanisme pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel pun harus disorot dalam kinerja penyaluran dana bantuan hukum ini, misal contoh laporan yang telah diajukan kepada BPHN dengan dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli periode tahun 2013 yang lalu. Dokumen-dokumen asli plus kwitansi yang telah ditandatangani oleh OBH  tersebut tidak semuanya disetujui untuk dicairkan oleh BPHN.

Kita semua tentunya setuju bahwa laporan yang tidak memenuhi persyaratan reimburse tentu tidak akan dicairkan dananya, namun tidak ada keterbukaan mengenai laporan mana yang ditolak dan apa alasan penolakannya yang menjadi pangkal persoalan di sini. Ini menjadi titik masuk potensi penyalahgunaan anggaran negara karena laporan yang dimasukan oleh OBH semuanya telah diberi kwitansi yang ditandatangani pengeluarannya.

Tentu saja harus disampaikan alasan penolakan yang dimaksud dan dokumen-dokumen asli tersebut wajib untuk dikembalikan untuk menghindari potensi-potensi buruk tadi. Sayangnya selama ini tidak pernah ada keterbukaan seperti ini, jangka waktu penyampaian jawaban dari pihak pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dan ayat (5) Permenkumham No. 22/2013 pun tidak dilaksanakan :

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait