Bantuan Hukum Salah Urus
Kolom

Bantuan Hukum Salah Urus

Dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014 yang lalu, ada OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana siluman, tidak ada yang tahu pertanggungjawabannya.

Bacaan 2 Menit

Dalam pelaporan perkara litigasi misalnya, sudah diatur oleh Pasal 15 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP No. 42/2013), yang berbunyi:

“pemberian bantuan hukum secara litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan dengan cara:

  1. Pendampingan dan atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan;
  2. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
  3. Pendampingan dan/atau menjalankan nkuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan tata Usaha Negara.”

Kemudian di BAB II Standar Bantuan Hukum Litigasi Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 22 tahun 2013 ttg Peraturan Pelaksana PP No. 42/2013 (Permenham No. 22/2013), disebutkan bahwa:

1) Penerima Bantuan Hukum dalam perkara pidana terdiri atas:
a. Tersangka; dan/atau

b. Terdakwa.
2) Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum untuk perkara pidana dimulai dari tahapan;
a.    Penyidikan;
b.   
Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan/atau
c.    Upaya hukum.

Aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa perkara yang masih berada pada tingkat penyidikan dan penuntutan sudah dapat dikatakan sebagai sebuah perkara litigasi. Namun, anehnya pihak BPHN sendiri menolak laporan perkara litigasi yang dilaporkan apabila perkara tersebut belum sampai di persidangan dan memiliki nomor persidangan, kilah BPHN ialah bahwa Kementerian Keuangan hanya akan mencairkan dana yang telah memiiki nomor register sidang.

Inilah yang menjadi salah satu hambatan, ketentuan dari Kementerian Keuangan tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada para OBH, apalagi jika ketentuan tersebut sendiri bertentangan dengan ketentuan yang telah dibuat oleh Pemerintah serta Kementrian Hukum dan HAM melalui Pasal 15 PP No 42/2013 jo. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Permenkumham No. 22/2013, tidak ada adanya harmonisasi dari ketentuan-ketentuan yang bertentangan tersebut merugikan kepentingan para stakeholder yang terkait dengan hal ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait